Thursday, February 11, 2010

Malu Kepada Garuda

Untung saja Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Bayangkan, republik ini berdiri pada 1 Januari 1901. Apa yang terjadi? Garuda Pancasila hanya akan memiliki 1 bulu sayap, 1 bulu leher, dan 1 bulu ekor. Betapa kurusnya.....

Garuda memang burung istimewa, jauh lebih istimewa ketimbang burung cucak rowo. Oleh orang-orang Hindu, Garuda dijuluki “The King of the Sky”. Burung raksasa ini adalah kendaraan Dewa Wisnu. Dalam kitab Mahabarata disebutkan bahwa Garuda memiliki 6 anak, yang seluruhnya dipercaya memiliki kehebatan dibanding burung-burung yang lain.

Eh, by the way, apa betul hanya Indonesia yang ‘memiliki’ Garuda?

Kalau Anda berpikir bahwa Garuda hanya punya kita, Anda perlu membuka-buka lagi dokumen sejarah.

Garuda—yang sesungguhnya termasuk jenis Elang—telah menjadi ikon peradaban, lambang kekuatan dan kebanggaan, dari India hingga Eropa.
Ada 29 negara yang menggunakan Garuda sebagai lambang negara atau memakainya di bendera. Ini dia beberapa contohnya:



Di negeri ini, selain sebagai lambang negara, Garuda juga dipakai untuk merek kacang. Dengan memakan kacang ini sebanyak-banyaknya, dijamin bangsa ini akan menjadi bangsa kacangan!



Gambar Garuda juga dipakai untuk logo Timnas sepak bola kita. Nurdin Halid pun bangga memakai kaos yang ada gambarnya Garuda. Padahal, dia adalah satu-satunya pimpinan organisasi sepak bola di dunia yang berpredikat koruptor! Guinness Book of Records perlu mencatatnya!



Satu lagi, gambar Garuda juga digunakan maskapai penerbangan berplat merah. Reputasinya sudah tidak perlu diragukan lagi. Ini dia buktinya....



So, kita harus malu pada Garuda. Betapa tidak. Kita terancam menjadi bangsa KACANGAN, hobi KORUPSI, lalu HANCUR berantakan....

(foto-foto: www.google.com)

Dari Siti Fadilah hingga Siti Markonah

Belum lama ini saya menemukan kesalahan konyol yang dilakukan situs berita inilah.com. Di berita berjudul "Marsilam: Siti Fadjrijah Patahkan Pikiran Nakal Saya", Senin (18/1), yang dipajang adalah foto bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Padahal, yang seharusnya terpampang adalah foto Deputi Gubernur BI, Siti Fadjrijah.



Harus diakui, Siti Fadjrijah dan Siti Fadilah Supari memiliki beberapa persamaan, yakni sama-sama perempuan, sama-sama memakai nama depan Siti, dan sama-sama berkacamata. Tapi, benarkah Siti Fadjrijah mirip dengan Siti Fadilah Supari? Anak kecil pun tahu jawabannya. Lihatlah betapa mencoloknya perbedaan itu. Siti Fadjrijah berjilbab, sedangkan Siti Fadilah Supari tidak.


Kesalahan konyol itu sebenarnya bisa dibuat lebih konyol lagi. Misalnya dengan memampang foto Siti Nurhaliza berikut ini:



Atau, bisa juga foto Siti Maimunah yang sangat mencintai suaminya hingga tua renta ini dipamerkan...



Dan ini dia pilihan terkonyol dari konyol-konyol yang ada. Hmmm, Siti Markonah sedang menunjukkan bakat terpendamnya....



Ealah, Siti, nasibmu kok berwarna-warni....

(foto-foto: www.google.com)

Thursday, January 28, 2010

Lho, Foto Pre Wedding Haram?



Baru-baru ini, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Lirboyo, Kediri, Jawa Timur membuat fatwa tentang haramnya foto mesra sebelum pernikahan atau pre-wedding.

Kemarin, seorang teman juga membikin foto pre wedding. Karena dia hendak melakukan poligami, tidak tanggung-tanggung, dia mengajak empat calon istrinya sekaligus!

“Maaf, Mas, bagaimana tanggapan Anda terhadap fatwa yang mengharamkan foto pra nikah?” tanya saya, setelah proses jeprat-jepret selesai.

“Hmmm....,” gumamnya sambil mengelap keringat, ”saya sangat setuju korupsi itu haram.”

“Anda setuju dengan fatwa itu?” Saya mengencangkan suara, khawatir pertanyaan saya kurang didengarnya.

“Jelas sekali negara kita melarang korupsi. Demikian juga ulama-ulama kita, baik yang punya jenggot maupun tidak.”

“Maaf,” saya menyela, sambil memperdekat jarak, ”Anda kok mengalihkan perhatian?”

“Lho justru banyak orang di luar sana yang suka mengalihkan perhatian.”

“Contohnya?”

“Ya itu tadi, orang-orang yang membikin fatwa soal haramnya pre wedding!”

Allah, Malaysia dan Maria Eva

Belum lama ini, tiga gereja di Malaysia dilempar bom oleh massa yang tidak setuju terhadap izin penggunaan kata 'Allah' oleh non-Muslim. Penyerang melemparkan bom molotov ke sebuah gereja di Kuala Lumpur dan berusaha membakar dua gereja lainnya di Petaling Jaya.



Pembakaran ini diduga kuat merupakan bentuk protes warga atas putusan Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur, Malaysia, yang menyatakan bahwa harian Kristen, Herald Malaysia, memiliki hak konstitusional untuk menggunakan kata 'Allah' sebagai kata rujukan untuk 'Tuhan'. Pemberlakuan putusan ini ditunda karena pemerintah mengajukan banding.





Mendadak saya teringat Maria Eva. Pedangdut asal Jawa Timur ini suka memakai kalung yang liontinnya bertuliskan lafadz ALLAH. Ini sungguh ironis, bukan hanya karena dia pernah terlibat skandal video mesum dengan seorang anggota DPR, tapi juga karena kalung dan liontin itu menempel di dada yang sebagian 'buahnya' dibiarkan terbuka.

Saya tak tahu apa jadinya bila Maria Eva bertandang Malaysia dengan mengenakan kalung dan liontin itu....

Monday, December 28, 2009

Pamit yang Pahit

Menara Poeteri dan Madina bukanlah saudara kembar. Namun kedua majalah beda-generasi ini punya kemiripan: sama-sama mengusung nafas Islam dan sama-sama tak bisa berumur panjang.

Menara Poeteri adalah majalah mingguan yang terbit di Medan, pada 1937, dipimpin oleh Rasuna Said—seorang wanita pejuang yang pernah dibui pemerintah kolonial Belanda . Meski ditujukan untuk kaum hawa, semboyan yang dicanangkan majalah ini sungguh jantan: “Ini Dadaku, Mana Dadamu”.

“Kupasannya jitu. Suara yang dibawakannya lantang, laras dan pantas dengan pembawaan Pemimpin Redaksi-nya,” tulis Soebagijo I.N., dalam buku Jagad Wartawan Indonesia, tentang majalah ini.

Sayangnya Menara Poeteri lekas gulung tikar. Mengenai sebab-musababnya, dikemukakan sendiri oleh Pemimpin Redaksinya:

“Dengan sedih dimaklumkan pada seluruh abonne Menara Poeteri oleh sebab: (a) hanya 10 % dari abonne yang suka membayar (b) 90 % dari seluruhnya abonne suka baca, tetapi tidak suka bayar; sekira majalah dikembalikan karena tidak mau membayar, tidaklah menjadi penyesalan (c) hal itu telah berjalan dua kuartal. Menjaga tenaga, uang dan pikiran yang hilang percuma, maka mulai nomor yang akan terbit tanggal 20 Juni ini Menara Poeteri tidak diterbitkan lagi, buat sementara waktu yang tidak ditentukan.”

Kemudian muncullah kalimat perpisahan yang menggetarkan itu:

“Para abonne dan agenten yang masih berhutang uang langganan dipersilahkan memilih satu di antara dua: perhitungan di dunia atau perhitungan di akherat.”

Pada 2009 ini, setelah 19 bulan menyapa pembacanya, Madina juga terpaksa angkat kaki dari dunia pers. Dalam permohonan pamitnya, Farid Gaban dkk menulis:

“Kami bersama di sini memutuskan untuk berhenti terbit karena satu alasan: secara ekonomis, kami tak mungkin bertahan. Sebagai sebuah produk bisnis, Madina harus memperoleh pemasukan yang lebih besar daripada pengeluaran. Dan itu yang tidak kunjung bisa dicapai.”

Bila Pemimpin Redaksi Menara Poeteri menyebut-sebut perhitungan di dunia dan akherat, Pemimpin Redaksi Madina membawa-bawa nama Tuhan dan malaikat, dengan menyatakan:

“Kami percaya para malaikat akan mencatat nama-nama para penyandang dana, para sponsor, para pengiklan, para pendukung, para pembeli, para pembaca, para penjaja, yang tanpa mereka majalah ini tak akan ada. Kami berdoa, apa yang mereka dan Anda lakukan, punya makna di mata Sang Pencipta.”

Oh, mestikah kata-kata pamit selalu terasa pahit.....?!!

Tuesday, November 10, 2009

Tuhan Tidak Ngorok, Kan?

Pada dasarnya, segala sesuatu di jagad ini dibedakan menjadi dua: misteri dan non-misteri. Yang pertama tidak bisa didefinisikan, tetapi hanya bisa dijabarkan dengan metafora. Yang kedua bisa didefinisikan.

Tuhan adalah misteri. Ia ada, tapi tidak bisa digambarkan dengan kata-kata maupun grafis. Kalaupun seseorang berupaya menjelaskannya dengan kata-kata, hasilnya adalah ketidaksempurnaan. Artinya, kata-kata itu tidak akan sanggup menggambarkan Tuhan yang sesungguhnya. Kata-kata hanya akan menghasilkan lebih banyak kata-kata.

Tuhan, dalam hal tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tak ubahnya sebuah rasa. Contoh: rasa pedas. Bisakah seseorang menggambarkan bagaimana rasa pedas itu? Tidak bisa. Paling-paling, orang akan bilang: pedas adalah rasa dari cabe. Penggambaran seperti itu tidak cukup, meskipun orang bisa memahaminya. Yang diperlukan adalah penggambaran yang lebih lugas, jelas, dan rinci.

Nah, Tuhan lebih susah lagi digambarkan, karena ia tidak bisa diobservasi, dan tidak bisa pula dijadikan objek eksperimen. Cara terbaik menggambarkan Tuhan, karena itu, bukan dengan definisi, melainkan dengan metafora.

Definisi, secara sederhana, berarti penjabaran dan pembatasan. Jika sesuatu didefinisikan, berarti ia harus dijabarkan, sekaligus dipatok batas-batasnya untuk membedakan sesuatu itu dengan yang lainnya. Contoh, definisi baju dan celana. Keduanya sama-sama pakaian, tetapi dengan fungsi yang berbeda. Untuk membedakan hal satu dengan yang lainnya, biasanya yang dijadikan acuan adalah bentuk, sifat, fungsi, dll.

Bagaimana dengan metafora. Ia adalah perumpaan. Kalau kita membuka-buka teori perumpaan, dari sudut pandang bahasa, ia masih dibedakan menjadi beberapa. Di antaranya yang paling sering kita pakai adalah metafora dan personifikasi. Namun dalam konteks ini, metafora saya identikkan dengan perumpamaan.

Kitab suci apapun tidak pernah memberikan definisi yang utuh tentang Tuhan. Yang ada ialah penggalan-penggalan ayat yang berisi metafora. Mengapa begitu? Tuhan menggambarkan dirinya sesuai ‘alat-alat pengetahuan’ manusia. Alat-alat itu ada tiga: nalar, indera, dan kalbu. Tuhan juga menghadirkan dirinya dengan menyebut-sebut sesutau yang sudah ada di jagad raya, agar manusia bisa gampang mencernanya. Misalnya Tuhan menyebut “tangan Tuhan”, “rumah Tuhan”, dll. Tangan dan rumah adalah term-term yang konkrit, yang bisa dipahami kebanyakan manusia.

Meski begitu, layaknya puzzle, jika dibiarkan berantakan, metafora-metafora itu tidak akan memiliki bentuk yang utuh. Dan, faktanya, hanya orang tertentu yang sanggup menyusun serpihan-serpihan pazzle itu. Karenanya, pemahaman seseorang tentang Tuhan menjadi sesuatu yang sangat pribadi. Hal itu tergantung kepada pengalaman subjektif, sudut pandang keilmuan, kepentingan kelompok, dll.

Lalu, bagaimana agar diskusi tentang Tuhan bisa memperoleh hasil yang brilian?

Pertama, petakan teori-teori tentang Tuhan yang pernah dibikin manusia. Atau setidaknya: tumpahkan konsep Tuhan yang ada di kepala Anda.

Kedua, pahami teori-teori itu dengan cermat. Jangan lupa telusuri cara berpikir atau rujukan orang yang membikin teori itu.

Ketiga, coba lakukan analisis satu per satu. Di mana letak keunggulan dan kelemahan suatu teori.

Keempat, bikinlah teori baru versi Anda.

Kelima, minta orang lain mengomentari teori baru Anda. Jika Anda bisa mempertahankan teori itu dengan argumen yang secara logika tak terbantahkan, berarti Anda cukup cerdas.

Keenam, beri waktu kepada diri Anda untuk merenung beberapa pekan. Coba ajukan pertanyaan apapun mengenai teori yang pernah Anda ‘temukan’ itu.

Ketujuh, jika sudah mantap dengan teori itu, Anda bisa menulis serta mempublikasikannya. Kelak, di suatu waktu, percayalah, akan ada orang yang punya teori yang akan merevisi teori Anda.

Mengapa bisa begitu? Tuhan itu pasti sempurna, namun teori atau pemahaman atau kata-kata kita tentang dia tidak akan sempurna.

Loh, kata sempurna itu kan kata yang ambigu, Bos?! Betul sekali. Mengapa? Karena kita memakai ukuran kita. Secara gampang, sempurna bagi Tuhan ialah: ia bisa menjadi apapun dan bisa melakukan apapun. Namun, ini menjadi catatan puenting, Tuhan belum tentu melakukan apa yang bisa dia lakukan. Contoh: dia bisa tidur, bahkan ngorok sambil ngompol. Tapi, apa Tuhan melakukan itu?

Monday, October 26, 2009

Gara-gara Pantat

Usai mengucapkan sumpah, Ketua BPK Hadi Purnomo melangkah ke depan, menuju ke sebuah meja yang di atasnya selembar kertas menanti dibaca dan ditandatangani. Dalam waktu bersamaan, Ketua MA Harifin Tumpa juga maju beberapa langkah. Mendadak, seorang panitia ikut-ikutan menghampiri meja itu. Lantas dia menjulurkan pena untuk Hadi Purnomo.

Dalam beberapa detik, panitia itu tak beranjak dari tempat berdirinya. Dia tak sadar, tindakannya itu mengundang jengkel beberapa kamerawan dan fotogrofer yang membidik momen yang hanya terjadi lima tahun sekali itu.

“Pak…Pak…. Minggir dong, Pak,” teriak seorang fotografer. Yang diteriaki ternyata membandel. Karena membungkukkan badan sewaktu mengukir tanda tangan, tubuh Hadi Purnomo kini terhalang tubuh si panitia. Alih-alih bisa membidik wajah Ketua BPK, yang dijepret si fotografer justru pantat si panitia.

“Waduh, Pak. Gara-gara pantat Bapak, gue kehilangan momen nih.” Kali ini fotografer itu nggerundel sendiri, sembari mencari celah yang pas di antara puluhan pemburu berita. “Kalau begini hasilnya, nggak akan dimuat, Pak.”

Insiden pantat ini terjadi di sela-sela pengucapan sumpah Ketua dan Wakil Ketua BPK di MA, Senin (26/10). Acara seremonial ini menjadi begitu penting, lantaran pemilihan anggota BPK periode 2009-2014 dari awal memang diselimuti kontroversi.
Awalnya, Komisi XI DPR menyetujui tujuh calon anggota BPK. Mereka adalah Hasan Bisri, Hadi Purnomo, Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, Taufiequrahman Ruki, Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti. Belakangan, dua nama terakhir ini didepak. Keduanya dianggap memiliki konflik kepentingan lantaran berasal dari internal BPK. Gunawan Sidauruk adalah Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat dan Dharma Bhakti adalah Sekjen BPK.

DPR merujuk pada Pasal 13 huruf j UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK. Salah satu syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota BPK adalah paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan Negara. DPR kian mantap mengambil keputusan setelah meminta fatwa MA.

Kontroversi itu kian menjadi-jadi setelah DPR memutuskan Muhamad Nurlif dan Ali Masykur Musa sebagai pengganti Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti. Bahkan ada yang menyebut DPR menggelar politik dagang sapi—entah sapi Madura atau sapi Australia—lantaran yang mereka untungkan adalah kolega mereka sendiri.

Sejatinya, DPR tidak keliru kala menggunakan Pasal 13 huruf j UU No.15 Tahun 2006 sebagai rujukan dalam menjaring anggota BPK. Namun DPR melakukan blunder yang fatal, karena menerapkan beleid itu pada detik-detik akhir seleksi. Mestinya dari awal DPR sudah berteriak lantang bahwa pejabat-pejabat seperti Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti tidak berhak ikut seleksi.

Kini, blunder itu telah melahirkan ‘gol bunuh diri’. DPR digugat. BPK juga terkena imbas. Institusi ini dinilai sejumlah kalangan sebagai sarang bagi politikus yang gagal mendapatkan kursi di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Buat sang fotografer yang gagal mendapatkan momen terbaik tadi, dengan mengambil angle tertentu, sesungguhnya proses seleksi hingga pelantikan anggota BPK bisa disuguhkan dengan foto yang bernilai jurnalistik tinggi. Sayang, kali ini upayanya tak membuahkan hasil maksimal. Yang dia dapatkan malah gambar pantat seorang panitia, yang tidak memiliki nilai berita, kecuali bila celana yang melekat di pantat panitia itu melorot secara tiba-tiba.

Thursday, October 15, 2009

Tuhan bukan Residivis

“Ternyata tuhan ada di ketiakku,” ujarku, melalui YM, kepada lelaki di seberang sana yang mengaku sebagai Pencari Tuhan. Sontan dia kaget. Namun belum sampai kekagetan itu sirna, aku sudah memaksa otaknya linu. “Apa di ketiakmu juga ada tuhan?”


Kekagetan itu mendadak diubahnya menjadi kejengkelan. “Maksud lu apa neh?”

“Aku sudah menemukan tuhan. Kenapa kamu masih mencarinya?” Aku berusaha menggiringnya ke ranah diskusi yang lebih serius. Tapi lelaki itu malah bengong. Barangkali otaknya yang linu belum berhasil dia pulihkan.

“Emangnya tuhan itu residivis?” Sekali lagi aku memancing nalar intelektualnya bekerja. Sayang, kembali pertanyaanku tak diresponnya. Begitu pula ketika aku menonjok otaknya dengan pertanyaan, “Ngapain kamu mencarinya? Mau kamu apakan Tuhan?”

Aku yakin dia sedang berpikir keras menjawab pertanyaanku tadi. Dan aku berharap dia sanggup memaparkan jawaban yang ringkas namun berbobot.

“Gw yang nyari, kenapa lu yang koment?” serunya, setelah hampir dua menit dia terpaku. Rupanya dia seseorang yang defensif.

“Baiklah, apa kamu mau membunuh tuhan, kayak Nietzsche?” Lagi-lagi aku berupaya menggodanya untuk mau bertukar isi kepala.

Namun upayaku sia-sia. Dia tak sanggup menggerakkan jemarinya untuk menata kalimat. Dia memilih kabur dengan sign out dari dunia maya. Dunia yang sehari-hari diakrabinya, konon, sebagai Pencari Tuhan.

Sunday, December 07, 2008

Saya Wartawan, bukan Hakim



Tidak dari nol
Saya yakin Anda bisa menjabarkan definisi berita. Anda juga tak akan kesulitan menerangkan apa saja yang memiliki news value. Bahkan, Anda juga sudah paham bagaimana teknik membuat berita.


Hmmm, lega rasanya saya berdiri di depan Anda. Saya tak harus memulai dari nol. Yah, saya bisa langsung memulai dari....minus satu!


Jangan heran. Ada satu hal, agaknya, yang terlewatkan. Saya belum menyebutkan “rasa ingin tahu”. Percayalah, selama tidak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kita selalu kelimpungan: tidak tahu mau menulis apa.


Ingatkah Anda pada rumus 5W+1 H? Benar, itulah unsur-unsur berita. Rasa ingin tahu juga bisa diselaraskan dengan unsur-unsur berita: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana.


“Oh, jadi benar Herman nikah lagi?”, “Istri barunya orang mana ya?”, “Masa sih nikahnya kemarin?”, “Rumahnya yang di dekat sungai itu ya?” “Benar nggak sih, ini karena istri pertamanya tidak mau diet sehingga terlihat gembrot?”, “Terus, ramai nggak acaranya kemarin?” Itulah sederet contoh pertanyaan yang menyiratkan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.


Kalau Anda ingin menulis lebih jauh, Anda bisa tambahkan pertanyaan: “Lalu, apakah istri pertama Pak Herman akan segera diceraikan?”, “Dulu kan Pak Herman menentang poligami, tapi kenapa sekarang malah jadi pelaku poligami?” dst.


Sebenarnya 5W+1 H sudah cukup bisa memandu rasa ingin tahu kita terhadap sesuatu, terutama bila kita hendak menulis dengan gaya straight news. Namun, untuk menulis sebuah berita yang agak mendalem, selain berangkat dari pertanyaan-pertanyaan standar itu, kita juga harus fokus kepada pertanyaan “mengapa?” dan “lalu apa?”


Setelah mengetahui sisi menarik sebuah fakta, segeralah Anda fokuskan diri untuk menulis sisi yang menarik itu. Misalnya ada fakta: Istri Herman gembrot karena tak mau diet. Ia tak mau diet karena tak yakin diet itu akan membuatnya kurus. Seorang tetangganya pernah diet ketat, eh malah akhirnya mati dengan busung lapar....dst.


Tiga saja
Jurnalistik itu sebenarnya sederhana. Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi. Tentu ada banyak rambu-rambu sebagaimana terjabarkan dalam Kode Etik, UU Pers, maupun peraturan yang sifatnya internal. Meski demikian, sederhananya, jurnalistik memang hanya terdiri dari tiga proses itu.


Teknik utama reportase pada dasarnya adalah melihat (observasi). Hmm, sederhana, kan? Tapi ingat, melihat dalam dunia jurnalistik, tak sebatas menatap gambar atau peristiwa secara sepintas. Melihat, dalam konteks ini, adalah mengamati sesuatu dari banyak sisi; dari banyak situasi. Jadi, pengambilan sudut pandang sangat-sangat berpengaruh terhadap hasil observasi.


Observasi ini terpilah menjadi tiga: observasi benda tak bergerak, benda bergerak, dan peristiwa. Wartawan yang baik selalu menyukai deskripsi dan narasi. Tentu, upaya itu akan terkesan asal-asalan bila wartawan tak lihai melakukan observasi.


Di samping observasi, untuk mendapatkan informasi, wartawan harus melakukan wawancara. Ada banyak jenis wawancara dengan berbagai karakteristik. Yang pasti, untuk melakukan wawancara, seorang wartawan harus punya persiapan. Sebelumnya ia harus melakukan riset—meski kecil-kecilan. Riset itu tak hanya menyangkut materi pertanyaan, tapi juga mengenai sosok yang akan diwawancarai.


Usai riset, uraikanlah pokok-pokok pertanyaan. Sebagian besar wartawan suka menyebutnya ‘out line’. Yah, semacam garis besar pertanyaan. Karena garis besar, ia bisa dikembangkan sedemikian rupa.


Ada sekian banyak tipe nara sumber. Yang paling gampang diwawancari tentu orang-orang yang sedang butuh publikasi. Para pengacara yang kebetulan mewakili penggugat, misalnya, suka berkoar-koar di hadapan wartawan agar kasus yang ditanganinya terekspos. Sebaliknya, pengacara tergugat justru mengunci mulutnya karena khawatir kejelakan kliennya terendus.


Pengacara, dosen, anggota DPR, atau pejabat setingkat eselon I biasanya tergolong nara sumber yang gampang diwawancarai. Mereka yang sulit diwawancarai adalah hakim, pemimpin militer, menteri, dan tentu saja presiden.


Para praktisi jurnalistik selalu menganjurkan agar wartawan bisa ‘mengambil’ hati nara sumber. Biasanya, jika merasa tidak nyaman dengan tingkah atau pertanyaan wartawan, narasumber memilih menghindar.


Ada banyak cara meluluhkan hati narasumber. Salah satunya ialah dengan menempatkan pertanyaan sensitif di penghujung wawancara. Tentu dengan catatan: sang wartawan bisa mengukur kapan wawancara berakhir. Seringkali, waktu untuk wawancara sangat terbatas. Pada wawancara door stop, misalnya, wartawan dituntut mengefektifkan waktunya sebaik mungkin. Dalam kondisi seperti ini, langkah terbaik adalah bertanya straight to the point.


Tapi mesti diingat, wawancara tidak sama dengan interogasi. Kartu pers tidak membuat wartawan bisa berperilaku seperti polisi. Wartawan juga harus menghindari perdebatan dengan nara sumber.


Terkadang, harus diakui ada wartawan yang mengandalkan teknik bluffing (menggertak). Tapi ingatlah, hanya wartawan tertentu yang bisa seperti itu. Yang jelas mereka bukan wartawan yang sok tahu, tapi memang benar-benar cukup tahu persoalan yang sebenarnya. Biasanya mereka punya segepok data yang tergolong “Top Secret”.


Selain observasi dan wawancara, cara lain yang harus ditempuh wartawan untuk mendapat informasi ialah dengan mempelajari dokumen. Terdapat banyak sumber informasi tertulis dewasa ini. Wartawan bisa membuka-buka buku, makalah, website, dsb.


Bila seluruh informasi dirasa lengkap, proses berikutnya adalah mengolahnya. Kita harus pandai memilah informasi yang perlu dan informasi yang hanya berupa statemen klise. Setelah itu tinggal disajikan kepada pembaca.


Lima menit = tiga berita
Sayang sekali, karena diburu deadline, para jurnalis online kerap tidak menggunakan tiga jenis teknik reportase tadi. Kebanyakan mereka hanya mengutip omongan nara sumber. Wawancara yang berlangsung lima menit, terkadang bisa menjadi tiga berita dengan judul yang tak saling terkait. Begitulah pengalaman beberapa rekan saya yang bekerja di sebuah portal-berita-online tersohor.


Tidak mengherankan, berita yang dihasilkan pun sangat dangkal. Goenawan Mohamad menyebutnya jurnalisme ludah, karena hanya berisi kutipan-kutipan omongan nara sumber. Tentu, pembaca ingin memperoleh lebih dari sekedar kutipan. Pembaca juga menginginkan data atau background yang memadai.


Tentu saya bisa memahami mengapa sampai muncul jurnalisme ludah. Para wartawan media online selalu dituntut untuk lebih lincah, cepat, dan ‘ambil yang ada’. Maksudnya, tak perlu menunggu banyak informasi pendukung.


Tapi ingat, jurnalisme ludah hanya cocok untuk media tertentu. Di media cetak, saat ini ada kecenderungan pembaca menyukai info-info yang disajikan dengan angka. Harian Republika dan Top Skor sudah mulai menerapkannya. Nah, formula serupa agaknya juga cocok untuk media online.


Lalu lintas kata
Ciri utama media online adalah kecepatan. Sejauh ini memang tidak ada yang menyangkalnya. Namun demikian, kecepatan saja tidak cukup.


Harus cepat sekaligus akurat? Yup. Betul sekali. Akurat berarti tidak ada yang keliru. Semua disampaikan “apa adanya”. Tidak membumbui. Juga tidak menggurui.


Selain itu, media online juga harus selalu mengaitkan sebuah informasi dengan informasi lain. Bila dalam ilmu tafsir dikenal istilah munasabah, maka dalam jurnalisme online dikenal hyperlink. Kalau tidak memakai hyperlink, tiap berita sebaiknya didampingi oleh beberapa berita terkait, di bawah atau di sampingnya.


Satu lagi. Jurnalisme online sangat menekankan interaksi antara penyedia berita dengan pembaca. Sebuah website kini harus memberi ruang kepada masyarakat untuk berkomentar.


Agar lalu lintas kata bisa teratur dengan baik, pengelola website bisa menempuh beberapa jurus. Misalnya, membuatkan forum rembug di milis. Atau, bisa juga dengan menyisakan ruang khusus komentar seperti di hukumonline.


Partisipasi pembaca tidak hanya berwujud komentar. Untuk meralat berita, misalnya, pembaca juga bisa berkirim surat pembaca yang isinya lebih panjang dari pada komentar. Pembaca juga dapat berkirim surat untuk rubrik konsultasi, bahkan mengirim hasil reportase dan artikel.


Tahu posisi
“Anda ini kurang ajar ya. Mestinya Anda tahu, siapa kawan siapa lawan!” Gertakan itu keluar dari seorang advokat senior, lewat gagang HP. Ia memprotes keras berita yang saya tulis. “Siapa yang menulis berita ini? Siapa sumbernya?” Dia terus mengejar. Bahkan kata-katanya menerorku hingga susah menulis berita.


Peristiwa itu begitu membekas. Setelah itu, saya ingin sekali menguak hubungan simbiosis mutualisme antara redaksi dengan pembaca, redaksi-pemasang iklan, dan redaksi-pemilik perusahaan. Belakangan saya mengerti: kebebasan wartawan memang dibatasi oleh kebijakan redaksional.


Pemimpin redaksi, dalam sebuah rapat redaksi, berhak menentukan berita apa saja yang akan ditulis wartawan. Ia juga berhak melarang wartawan menulis berita tertentu. Pula, ia berhak menentukan angle sebuah berita.


Maka, wartawan pada akhirnya harus mengerti kebijakan redaksional; memahami posisi medianya. Jika tempat ia bekerja ialah media milik lembaga negara, tentu si wartawan tak bisa leluasa menulis beragam tema. Berita-berita yang ditulisnya terbatas kepada tugas dan wewenang lembaga negara itu. Kalaupun agak melebar, pasti hanya menyangkut prosesi pernikahan anak Dirjen, pidato pengukuhan besar seorang pejabat teras, dst.


Masih ada hakim lhoo...
Media massa pada dasarnya adalah alat pertukaran informasi. Di samping menyediakan ruang bagi pejabat untuk bicara, media juga mesti menyediakan tempat berteriak bagi rakyat jelata. Yah, bukankah rakyat sukanya demo dengan suara lantang?


Menjadi moderator juga mediator. Itulah tugas media. Maka, jangan sekali-kali melampaui tuntutan itu. Media yang berisi berita-berita hukum, misalnya, tidak boleh bertindak menjadi hakim yang memvonis suatu kasus yang masih disidangkan. Trial by the press itu namanya.


Bila itu terjadi, tentu ada pihak yang merasa dirugikan. Alih-alih menjadi hakim, wartawan dan media yang kebablasan seperti itu malah bisa diseret ke muka hakim yang sebenarnya. Bisa pidana, bisa juga perdata.


Mungkin dari tadi Anda bertanya-tanya: mengapa saya memberi judul tulisan ini “Saya Wartawan, bukan Hakim”?


Kini Anda tahu jawabannya.... Sebab wartawan, dari media apapun, bukanlah pihak yang diserahi tanggung jawab untuk mengetok palu di meja hijau. Biarpun--sebagaimana dirumuskan Bill Kovach--tugas wartawan adalah menyuarakan kebenaran, wartawan sendiri harus patuh kepada standar kebenaran yang sudah dikonsensuskan. Ada norma sosial di sana. Ada juga KUHP, KUHPerdata, dan tentu saja al-Quran yang melarang fitnah, ghanimah, risywah, dan sebagainyahhh....


(Saya paparkan di hadapan perwakilan pegawai Ditjen Badilag MA dan PTA Se-Indonesia di Bandung, 24 November 2007)