Saturday, August 02, 2008

Herman Hasyim

Siapakah Herman Hasyim? Sewaktu kecil dulu, kita mengenalnya sebagai kolumnis yang kritis nan kocak. Atau, setidaknya seorang cerdik yang pandai mengutak-atik kata. Kita juga mengenalnya sebagai tokoh yang tak punya pendirian: tak punya organisasi dan enggan memfanatikkan keyakinannya.

Empat puluh tahun setelah kepergiannya, saya menemukan sepetak kamar di sebuah kontrakan di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Terletak di lantai dua, luasnya cuma 2 x 3 meter. Tak ada AC. Catnya sudah terkelupas, seperti kebanyakan kos-kosan di daerah ini.

Sore itu saya menelisiki kamar yang sempit dan pengap itu untuk mencari sisa sejarah yang tersembunyi. Saya tidak mendapatkannya secara utuh. Di kamar itu hanya ada sebuah jendela yang mengarah ke Jalan Taman Margasatwa.

Kontrakan ini dioperasikan pada tahun 2007. Di antara penyewa kamar, berdasarkan data pemilik kontrakan, tidak ada nama Herman Hasyim. Yang ada ialah Hermansyah. Lahir di Tuban, 10 Agustus 1982, sehari-hari ia bekerja selaku reporter di sebuah media online. Ia suka pulang dini hari.

Mengapa Hermansyah mengubah namanya menjadi Herman Hasyim dan bagaimana kolumnis dengan tubuh kerempeng ini mengisi hari-harinya sebagai wartawan? Saya tak tahu persis. Barangkali ia mendapatkan nama belakang “Hasyim” dari nama ayahnya: Nurhasyim. Dan, kemungkinan ia merakit kolom-kolomnya selepas kerja hingga subuh.

Dengan bantuan rokok dan kopi, ia sanggup menghasilkan karya. Tapi dengan itu pula tubuhnya menjadi ringkih dan akhirnya tak berdaya pada usia 40-an. Bagi mereka yang makan dan tidur secara teratur, Herman Hasyim adalah pemuda yang sembrono. Orang yang gemar menyepelekan kondisi kesehatannya. Namun kita mesti menempatkannya sebagai pribadi yang unik. Ia tidak pernah jatuh cinta kepada kehidupan yang tertib: kehidupan yang simetris.

Seorang penulis pernah menyinggung bagaimana posisi Herman Hasyim dalam sejarah tulisan populer di Indonesia: Herman Hasyim memang tak mengusung corak yang benar-benar baru, tapi ia membangkitkan kembali ruh Art Buchwald yang sudah tertimbun tanah itu.

Herman Hasyim, masih menurut penulis itu, telah menyegarkan kembali artikel-artikel koran yang terlanjur identik dengan kekakuan dan kegersangan. Ia sering memperkenalkan kosa kata baru, terampil mengembangkan humor, dan memboboti tulisannya dengan pandangan yang galak namun selalu membikin pembaca terbahak-bahak.

Dalam banyak hal, agaknya ia seperti Farid Gaban—mantan wartawan Tempo dan Republika yang membukukan kumpulan kolomnya dalam “Belajar Tidak Bicara”. Dalam beberapa hal ia juga seperti Harry Roesli, yang kolom-kolomnya di rubrik “Asal-Usul” Kompas begitu menggelitik. Tapi Herman Hasyim pernah mengatakan bahwa ia sangat mengagumi kolumnis era 1970-an Mahbub Djunaidi. Ia juga gandrung kepada Samuel Mulia, penulis rubrik “Parodi” di Kompas, yang gemar menelanjangi kebusukannya sendiri.

“Aku ini cuma tulang belulang,” kelakar Herman Hasyim, “tapi aku adalah tulang punggung keluarga.”

Berjuang Melawan Pelecehan

Akhir September 2006, seorang pemuda 23 tahun hijrah, menaiki sepur, ke Ibu Kota Jakarta. Dengan mata berkaca-kaca ia tinggalkan kekasihnya, yang demikian menyayanginya, buat mengadu nasib. Apa sesungguhnya yang dicarinya?

Sejarah kemudian berkisah bahwa Hermansyah meninggalkan Tuban, juga Surabaya, untuk mewujudkan mimpinya: meniti karir dan mengumpulkan rupiah. Tapi apa yang berlalu tak sesederhana yang ia bayangkan.

Pada mulanya ia memasuki apartemen Puri Imperium, menginjakkan kakinya di kantor hukumonline, dan meneken sebuah kontrak. Isinya: sebuah ikatan kerja, dengan posisi reporter dan gaji satu koma sekian juta. Selama tiga bulan pertama ia menjadi pekerja waktu tertentu. Bila dinyatakan lulus masa percobaan, ia menjadi pekerja waktu tidak tertentu alias karyawan tetap. Isi kontrak itu tak lama kemudian tersiar hingga ke Tuban.

Waktu itu, Tuban masih merupakan kabupaten yang terbelakang. Kekuasaan masih dipegang Golkar dan bupati Haeny Relawaty bak berkuasa tanpa batas. Singgasananya pernah dibakar rakyat usai Pilkada. Tapi ia, dibentengi sang suami yang tak lain adalah pengusaha terkaya di Bumi Ronggolawe, bisa mematahkan ‘pemberontakan’ itu. Pemerintahan berlangsung koruptif. Masyarakat kelas bawah terus menjerit, tapi hanya bergema di bilik-bilik pengap.

Hermansyah tentu ingin turut memperbaiki kondisi kampung halamannya. Ia seorang sarjana. Dan lebih dari lulusan perguruan tinggi lainnya, ia piawai menulis. Ia bisa menjadi jurnalis yang menghasilkan berita-berita kritis.

Tapi toh ia pergi ke Batavia: kota yang garis nasibnya sudah sedemikian jelas. Sungguh, kota ini tidak membutuhkan seorang perantau macam ia. Lantas?

Buku harian Hermansyah, yang berisi tulisan yang begitu memikat, menceritakan banyak hal: di balik raganya yang kurus, ia memendam ambisi besar. Pemuda berkulit gelap, yang hobi bermain catur ini, lahir dari keluarga sudra. Ia ingin kaya dengan berkarya. Ia ingin dikenang keluarga sebagai anak yang berbakti.

Namun menaklukkan Jakarta bukan pekerjaan gampang. Hermansyah, yang lahir di Sumurcinde yang jauh dari ibu kota, menjadi seorang yang kikuk. Bagi orang macam dirinya, Jakarta adalah kota yang bisa membuat celaka. Di sini para profesional muda bersolek dan berparfum, luwes dan kadang sadis. Hermansyah tidak. Di suatu hari di kantor, si canggung ini bahkan pernah jadi bahan tertawaan: ia salah menyebut Inayah sebagai Sheila. Semua gara-gara ia jarang bergaul dengan karyawan perempuan.

Hermansyah mencoba keluar dari situasi seperti itu. Tentu, ia tak betul-betul mengakui kekurangannya sendiri. Tapi pandangan meremehkan dari orang-orang di sekitarnya, membuat ia selalu habis-habisan membuktikan kemampuannya.

Demikianlah, ia menjalin hubungan erat, tanpa sepengetahuan Kantor, dengan sejumlah kalangan. Membangun relasi, demikian ia menyebutnya, ia lakukan bukan cuma untuk menambah daftar narasumber. Ia juga ingin memperoleh apa yang diharapkan pekerja kelas bawah lainnya: peningkatan karir.

Dan ternyata ia berhasil, setelah berpuluh-puluh hari dilanda frustrasi. Dengan kemahiran menulis, ditopang kegigihannya untuk berjuang melawan pelecehan, ia mendapat kemenangan. Di sebuah tempat kerja yang baru, posisinya lumayan menanjak. Walau gajinya tak terlalu menjulang, namun ia merasa nyaman. Yah, kenyamanan itulah yang sangat ia butuhkan ketika sang jabang bayi yang dikandung Dewi, istrinya, akan nongol ke dunia dalam hitungan hari.

Jakarta, Jumat (awal Juli 2008)

Enrichissez Vouz!

Seruan itu tak hanya datang dari orang-orang bermulut wangi yang lehernya selalu dicekik dengan dasi. “Jadilah kaya!” adalah seruan semua penghuni kota ini.

Aku dengar seruan itu, Sayang. Aku mendengarnya seraya mengutuk kemiskinan ini. Siapa yang tak ingin naik ke jenjang yang lebih tinggi? Siapa?

Tapi hari ini masih hari yang sengsara. Hari yang kita sebut ‘jaman perjuangan’. Kita bukan pengecam para maniak uang, tapi kita juga bukan orang yang suka hidup dengan kerendah hatian orang lain.

Kemiskinan ini, Sayang, tidak mudah dijinakkan. Percobaan demi percobaan untuk mendapatkan laba-lebih selalu mandek. Yang ganjil, banyak manusia seusia kita telah tiba lebih dulu ke jenjang itu: kemakmuran dengan segala keriuhannya.

Kita baru akan mencicipi buah yang kita tanam belasan tahun. Kita selalu percaya pengetahuan yang kita kumpulkan di bangku sekolah akan menolong kita di kemudian hari. Tapi masa panen itu belum benar-benar tiba.

Kau bilang kita adalah bagian dari masyarakat yang tak kena kutuk. Kau menunjuk seorang tetangga yang sarjana tapi kerjanya adalah mencari pekerjaan. Itu benar, Sayang. Tapi sehebat-hebatnya kita, toh nyatanya hari ini kita masih makan bersama dari piring yang sama.

Ada yang mengarahkanku agar berjungkir balik di sajadah, merapalkan doa, dan berharap tangan yang tak terlihat itu mau terlibat memperbaiki nasib kita. Aku tak melakukan itu. Bukan, bukan karena aku menganggapnya tahayul. Aku hanya ragu apakah dengan melakukan itu segala isak tangis akan habis.

Aku percaya, di masa sengsara, ide-ide menyeruak. Inilah periode lahirnya pikiran-pikiran brilian. Karena itu, selain mengkutuk keadaan ini, sejatinya aku juga merindukannya. Membuncitkan perut dan mencerahkan pikiran terkadang tak bisa dilakukan serentak.

Maka menjadi kaya tak mesti diukur dengan seberapa banyak rupiah yang telah kita tumpuk. Gagasan-gagasan yang kita kembang biakkan akhir-akhir ini juga bisa membuat kita jadi borjuis. Atau setidaknya kita adalah kaum proletariat yang hebat….

(Thanks to Goenawan Mohamad, sumber inspirasiku)

Tragediku

Pada mulanya ia nyanyian sendu. Di kemudian hari orang menyebutnya ‘tragedi’.


Pagi ini aku diguncang tragedi itu. Batinku terseok-seok di antara masa lalu dan masa depan. Kenangan-kenangan itu belum lapuk benar. Ia masih menusuk-tusuk.


Aku ingat kau hadir di kotaku. Membawa senyum. Menenteng tas dengan buku harian di dalamnya. Kau tulis hari-harimu bersamaku. Suka duka. Dan kau selalu bilang sangat mencintaiku.


Yang hadir tak hanya ragamu. Kau mengantarkan jiwa sucimu. Kau tak pernah tidak menghadiahiku semangat. Aku yang terpuruk, hampir takluk oleh keadaan, jadi tahu betapa bangkit dan menatap masa depan adalah keniscayaan. Dan kau selalu bilang aku bisa melepaskan diri dari masa sulit yang terus melilit.


Kini kau telah jadi istriku. Kau yakin, kita mampu melakoni skenario kehidupan. Kau seperti peramal yang tahu masa depanku. Aku manggut-manggut saja. Sebab, dengan kau di sisiku, tidak ada yang tak mungkin kugapai.


Tapi tragedi itu toh datang juga. Selepas kau pulang, aku seperti ikan yang terjatuh di kolam yang airnya sudah dikuras. Hidung ini seperti kehilangan nafas. Padahal di sisi lain aku mencicipi apa yang sering diidamkan para lelaki itu: kebebasan.


Ah, kebebasan. Aku sudah merengkuhnya bertahun-tahun. Kebebasan ternyata membuatku lelah. Apa artinya tidur dan melekku jika kau tak lagi di sini? Aku lelah, Sayang. Aku takut punah. Kau adalah airku. Tanpamu, bisakah aku hidup?