Saturday, October 18, 2008

Herman Hasyim dan Kelik yang Lain

Awalnya Herman Hasyim hanya ingin bekerja. Hanya dengan bekerja, ia akan mengantongi rupiah. Sesederhana itulah angan-angannya selepas lulus kuliah, Maret 2006.


Sebuah kesempatan terhampar. Hukumonline membutuhkan reporter baru, tepat ketika Herman genap menganggur 6 bulan. Harapannya melambung. Apalagi, Herman sudah bosan dengan sindiran Iwan Fals dengan “Sarjana Muda”-nya:


Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu


Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya.........



Herman masih ingat, tiap kali mendengar lagu itu, ia—dan teman-temanya yang masih menggelandang—selalu mengelak: seakan-akan Sarjana Hukum Islam berbeda dengan sarjana muda. “Lagipula, aku kan kuliah lima setengah tahun, bukan empat tahun,” celetuk Herman.


Dengan optimisme yang menjulang, Herman mengajukan lamaran ke hukumonline. Dan, tanpa banyak mengalami kesulitan, Herman berhasil menduduki satu kursi lowong di redaksi hukumonline. Media yang dikelola PT Justika Siar Publika ini mengkhususkan pemberitaannya pada masalah hukum. “Hukum untuk Semua,” begitu slogan media yang didirikan pada 14 Juli 2000 ini.


Menjadi reporter yang melulu bergelut dengan dunia hukum sesungguhnya bukan pekerjaan yang benar-benar diidamkan Herman. Baginya, dunia hukum adalah dunia yang simetris. Segalanya dibuat serba kaku, statis, beku.


Namun Herman pelan-pelan berusaha mengikis sendiri kesan negatifnya terhadap dunia hukum. Belakangan ia sadar: tak ada apapun di kolong bumi ini yang berdimensi tunggal. Hukum pun, jika dipantau dengan cermat, selalu bertalian dengan masalah politik, ekonomi, bahkan budaya.


Yang justru bergejolak di benakHerman ialah pertanyaan-pertanyaan seputar tempat ia mengais nafkah. “Media seperti apakah yang aku diami ini?” “Bagaimana orang-orangnya?” ”Cerah atau suramkah masa depannya?”


Pertanyaan-pertanyaan itu, tentu saja, menyiratkan kekhasan orang baru yang melihat peta media di ibu kota dengan mata setengah rabun. Ia tak mau terkecoh seperti Christophorus Columbus yang mengira Amerika sebagai India, hanya karena salah membaca peta. Karena itu, dengan sederet pertanyaan itu Herman juga hendak meyakinkan diri: bahwa ia tak terdampar di pantai yang salah, yang antah berantah.


26 September 2006, tepat sehari sebelum puasa ramadhan, Herman mulai menjadi penduduk Puri Imperium. Di apartemen yang kini bersebelahan dengan gedung KPK, jalan Rasuna Said Jakarta Selatan, inilah hukumonline berkantor.


Begitu memasuki pintu masuk kantor ini, Herman segera tahu bahwa ia berada di sebuah komunitas, bukan di sebuah perusahaan. Dan konon, ini adalah komunitas elit karena orang-orangnya berasal dari Universitas Indonesia (UI). Di komunitas ini, selain hukumonline, ada juga saudara tua bernama PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan). Belakangan muncul juga Daniel S Lev Library.


Menjadi bagian dari ‘komunitas elit’ membuat Herman harus melakukan akselerasi. Sepenuhnya Herman menyadari bahwa ia berangkat dari kampus yang sudah lama sering dipandang sebelah mata: IAIN. (Bahkan ada yang memplesetkannya menjadi Institut Agama Insya-Allah Negeri). Karena itu, Herman tak mau jadi bahan olok-olok. Herman juga tak ingin nanti jadi ‘kaum minoritas yang sakit hati’.


Tentang ‘kaum minoritas yang sakit hati’ ini, Herman teringat betul kisah Kelik Pelipur Lara. Pelawak asal Jogja yang meroket ketika memarodikan Jusuf Kalla dalam Republik BBM ini bernasib naas ketika memilih berkonfrontasi dengan Effendy Ghazali & The Gank yang berasal dari UI.


Ketika dibelit kesibukan mengisi berbagai acara di sejumlah stasiun televisi, mau tak mau Kelik harus membagi energi dan konsentrasi. Di pihak lain, Effendy Ghazali memintanya fokus saja di Republik BBM, toh kelik sudah jadi wakil presiden—dan tentu saja ikon acara ini, selain Taufik Savalas (almarhum) yang memplesetkan karakter SBY.


Dalam kondisi susah membagi energi dan konsentrasi itulah konflik menyeruak. Effendy terang-terangan menegur Kelik. Tapi kelik, dengan kekerasan hati ala Jogja, juga tak begitu saja legawa. “Orang-orang UI tahi!” umpat Kelik. Setelah itu bisa ditebak: Kelik didepak dari Republik BBM.


Kisah Kelik adalah kisah sakit hati kaum minoritas. Meski Kelik dan Dik Pendi –panggilan akrab Effendy Ghazali—di kemudian hari sempat rujuk, jejak-jejak perseteruan itu toh belum sepenuhnya musnah.


Juli 2008, Herman menyudahi hubungannya dengan hukumonline. Apakah kisah Kelik terjadi juga pada Herman? Sampai menghembuskan nafas terakhirnya, empat puluh tahun yang lalu, Herman tak pernah bilang “Tidak”.