Sunday, December 07, 2008

Saya Wartawan, bukan Hakim



Tidak dari nol
Saya yakin Anda bisa menjabarkan definisi berita. Anda juga tak akan kesulitan menerangkan apa saja yang memiliki news value. Bahkan, Anda juga sudah paham bagaimana teknik membuat berita.


Hmmm, lega rasanya saya berdiri di depan Anda. Saya tak harus memulai dari nol. Yah, saya bisa langsung memulai dari....minus satu!


Jangan heran. Ada satu hal, agaknya, yang terlewatkan. Saya belum menyebutkan “rasa ingin tahu”. Percayalah, selama tidak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kita selalu kelimpungan: tidak tahu mau menulis apa.


Ingatkah Anda pada rumus 5W+1 H? Benar, itulah unsur-unsur berita. Rasa ingin tahu juga bisa diselaraskan dengan unsur-unsur berita: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana.


“Oh, jadi benar Herman nikah lagi?”, “Istri barunya orang mana ya?”, “Masa sih nikahnya kemarin?”, “Rumahnya yang di dekat sungai itu ya?” “Benar nggak sih, ini karena istri pertamanya tidak mau diet sehingga terlihat gembrot?”, “Terus, ramai nggak acaranya kemarin?” Itulah sederet contoh pertanyaan yang menyiratkan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.


Kalau Anda ingin menulis lebih jauh, Anda bisa tambahkan pertanyaan: “Lalu, apakah istri pertama Pak Herman akan segera diceraikan?”, “Dulu kan Pak Herman menentang poligami, tapi kenapa sekarang malah jadi pelaku poligami?” dst.


Sebenarnya 5W+1 H sudah cukup bisa memandu rasa ingin tahu kita terhadap sesuatu, terutama bila kita hendak menulis dengan gaya straight news. Namun, untuk menulis sebuah berita yang agak mendalem, selain berangkat dari pertanyaan-pertanyaan standar itu, kita juga harus fokus kepada pertanyaan “mengapa?” dan “lalu apa?”


Setelah mengetahui sisi menarik sebuah fakta, segeralah Anda fokuskan diri untuk menulis sisi yang menarik itu. Misalnya ada fakta: Istri Herman gembrot karena tak mau diet. Ia tak mau diet karena tak yakin diet itu akan membuatnya kurus. Seorang tetangganya pernah diet ketat, eh malah akhirnya mati dengan busung lapar....dst.


Tiga saja
Jurnalistik itu sebenarnya sederhana. Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi. Tentu ada banyak rambu-rambu sebagaimana terjabarkan dalam Kode Etik, UU Pers, maupun peraturan yang sifatnya internal. Meski demikian, sederhananya, jurnalistik memang hanya terdiri dari tiga proses itu.


Teknik utama reportase pada dasarnya adalah melihat (observasi). Hmm, sederhana, kan? Tapi ingat, melihat dalam dunia jurnalistik, tak sebatas menatap gambar atau peristiwa secara sepintas. Melihat, dalam konteks ini, adalah mengamati sesuatu dari banyak sisi; dari banyak situasi. Jadi, pengambilan sudut pandang sangat-sangat berpengaruh terhadap hasil observasi.


Observasi ini terpilah menjadi tiga: observasi benda tak bergerak, benda bergerak, dan peristiwa. Wartawan yang baik selalu menyukai deskripsi dan narasi. Tentu, upaya itu akan terkesan asal-asalan bila wartawan tak lihai melakukan observasi.


Di samping observasi, untuk mendapatkan informasi, wartawan harus melakukan wawancara. Ada banyak jenis wawancara dengan berbagai karakteristik. Yang pasti, untuk melakukan wawancara, seorang wartawan harus punya persiapan. Sebelumnya ia harus melakukan riset—meski kecil-kecilan. Riset itu tak hanya menyangkut materi pertanyaan, tapi juga mengenai sosok yang akan diwawancarai.


Usai riset, uraikanlah pokok-pokok pertanyaan. Sebagian besar wartawan suka menyebutnya ‘out line’. Yah, semacam garis besar pertanyaan. Karena garis besar, ia bisa dikembangkan sedemikian rupa.


Ada sekian banyak tipe nara sumber. Yang paling gampang diwawancari tentu orang-orang yang sedang butuh publikasi. Para pengacara yang kebetulan mewakili penggugat, misalnya, suka berkoar-koar di hadapan wartawan agar kasus yang ditanganinya terekspos. Sebaliknya, pengacara tergugat justru mengunci mulutnya karena khawatir kejelakan kliennya terendus.


Pengacara, dosen, anggota DPR, atau pejabat setingkat eselon I biasanya tergolong nara sumber yang gampang diwawancarai. Mereka yang sulit diwawancarai adalah hakim, pemimpin militer, menteri, dan tentu saja presiden.


Para praktisi jurnalistik selalu menganjurkan agar wartawan bisa ‘mengambil’ hati nara sumber. Biasanya, jika merasa tidak nyaman dengan tingkah atau pertanyaan wartawan, narasumber memilih menghindar.


Ada banyak cara meluluhkan hati narasumber. Salah satunya ialah dengan menempatkan pertanyaan sensitif di penghujung wawancara. Tentu dengan catatan: sang wartawan bisa mengukur kapan wawancara berakhir. Seringkali, waktu untuk wawancara sangat terbatas. Pada wawancara door stop, misalnya, wartawan dituntut mengefektifkan waktunya sebaik mungkin. Dalam kondisi seperti ini, langkah terbaik adalah bertanya straight to the point.


Tapi mesti diingat, wawancara tidak sama dengan interogasi. Kartu pers tidak membuat wartawan bisa berperilaku seperti polisi. Wartawan juga harus menghindari perdebatan dengan nara sumber.


Terkadang, harus diakui ada wartawan yang mengandalkan teknik bluffing (menggertak). Tapi ingatlah, hanya wartawan tertentu yang bisa seperti itu. Yang jelas mereka bukan wartawan yang sok tahu, tapi memang benar-benar cukup tahu persoalan yang sebenarnya. Biasanya mereka punya segepok data yang tergolong “Top Secret”.


Selain observasi dan wawancara, cara lain yang harus ditempuh wartawan untuk mendapat informasi ialah dengan mempelajari dokumen. Terdapat banyak sumber informasi tertulis dewasa ini. Wartawan bisa membuka-buka buku, makalah, website, dsb.


Bila seluruh informasi dirasa lengkap, proses berikutnya adalah mengolahnya. Kita harus pandai memilah informasi yang perlu dan informasi yang hanya berupa statemen klise. Setelah itu tinggal disajikan kepada pembaca.


Lima menit = tiga berita
Sayang sekali, karena diburu deadline, para jurnalis online kerap tidak menggunakan tiga jenis teknik reportase tadi. Kebanyakan mereka hanya mengutip omongan nara sumber. Wawancara yang berlangsung lima menit, terkadang bisa menjadi tiga berita dengan judul yang tak saling terkait. Begitulah pengalaman beberapa rekan saya yang bekerja di sebuah portal-berita-online tersohor.


Tidak mengherankan, berita yang dihasilkan pun sangat dangkal. Goenawan Mohamad menyebutnya jurnalisme ludah, karena hanya berisi kutipan-kutipan omongan nara sumber. Tentu, pembaca ingin memperoleh lebih dari sekedar kutipan. Pembaca juga menginginkan data atau background yang memadai.


Tentu saya bisa memahami mengapa sampai muncul jurnalisme ludah. Para wartawan media online selalu dituntut untuk lebih lincah, cepat, dan ‘ambil yang ada’. Maksudnya, tak perlu menunggu banyak informasi pendukung.


Tapi ingat, jurnalisme ludah hanya cocok untuk media tertentu. Di media cetak, saat ini ada kecenderungan pembaca menyukai info-info yang disajikan dengan angka. Harian Republika dan Top Skor sudah mulai menerapkannya. Nah, formula serupa agaknya juga cocok untuk media online.


Lalu lintas kata
Ciri utama media online adalah kecepatan. Sejauh ini memang tidak ada yang menyangkalnya. Namun demikian, kecepatan saja tidak cukup.


Harus cepat sekaligus akurat? Yup. Betul sekali. Akurat berarti tidak ada yang keliru. Semua disampaikan “apa adanya”. Tidak membumbui. Juga tidak menggurui.


Selain itu, media online juga harus selalu mengaitkan sebuah informasi dengan informasi lain. Bila dalam ilmu tafsir dikenal istilah munasabah, maka dalam jurnalisme online dikenal hyperlink. Kalau tidak memakai hyperlink, tiap berita sebaiknya didampingi oleh beberapa berita terkait, di bawah atau di sampingnya.


Satu lagi. Jurnalisme online sangat menekankan interaksi antara penyedia berita dengan pembaca. Sebuah website kini harus memberi ruang kepada masyarakat untuk berkomentar.


Agar lalu lintas kata bisa teratur dengan baik, pengelola website bisa menempuh beberapa jurus. Misalnya, membuatkan forum rembug di milis. Atau, bisa juga dengan menyisakan ruang khusus komentar seperti di hukumonline.


Partisipasi pembaca tidak hanya berwujud komentar. Untuk meralat berita, misalnya, pembaca juga bisa berkirim surat pembaca yang isinya lebih panjang dari pada komentar. Pembaca juga dapat berkirim surat untuk rubrik konsultasi, bahkan mengirim hasil reportase dan artikel.


Tahu posisi
“Anda ini kurang ajar ya. Mestinya Anda tahu, siapa kawan siapa lawan!” Gertakan itu keluar dari seorang advokat senior, lewat gagang HP. Ia memprotes keras berita yang saya tulis. “Siapa yang menulis berita ini? Siapa sumbernya?” Dia terus mengejar. Bahkan kata-katanya menerorku hingga susah menulis berita.


Peristiwa itu begitu membekas. Setelah itu, saya ingin sekali menguak hubungan simbiosis mutualisme antara redaksi dengan pembaca, redaksi-pemasang iklan, dan redaksi-pemilik perusahaan. Belakangan saya mengerti: kebebasan wartawan memang dibatasi oleh kebijakan redaksional.


Pemimpin redaksi, dalam sebuah rapat redaksi, berhak menentukan berita apa saja yang akan ditulis wartawan. Ia juga berhak melarang wartawan menulis berita tertentu. Pula, ia berhak menentukan angle sebuah berita.


Maka, wartawan pada akhirnya harus mengerti kebijakan redaksional; memahami posisi medianya. Jika tempat ia bekerja ialah media milik lembaga negara, tentu si wartawan tak bisa leluasa menulis beragam tema. Berita-berita yang ditulisnya terbatas kepada tugas dan wewenang lembaga negara itu. Kalaupun agak melebar, pasti hanya menyangkut prosesi pernikahan anak Dirjen, pidato pengukuhan besar seorang pejabat teras, dst.


Masih ada hakim lhoo...
Media massa pada dasarnya adalah alat pertukaran informasi. Di samping menyediakan ruang bagi pejabat untuk bicara, media juga mesti menyediakan tempat berteriak bagi rakyat jelata. Yah, bukankah rakyat sukanya demo dengan suara lantang?


Menjadi moderator juga mediator. Itulah tugas media. Maka, jangan sekali-kali melampaui tuntutan itu. Media yang berisi berita-berita hukum, misalnya, tidak boleh bertindak menjadi hakim yang memvonis suatu kasus yang masih disidangkan. Trial by the press itu namanya.


Bila itu terjadi, tentu ada pihak yang merasa dirugikan. Alih-alih menjadi hakim, wartawan dan media yang kebablasan seperti itu malah bisa diseret ke muka hakim yang sebenarnya. Bisa pidana, bisa juga perdata.


Mungkin dari tadi Anda bertanya-tanya: mengapa saya memberi judul tulisan ini “Saya Wartawan, bukan Hakim”?


Kini Anda tahu jawabannya.... Sebab wartawan, dari media apapun, bukanlah pihak yang diserahi tanggung jawab untuk mengetok palu di meja hijau. Biarpun--sebagaimana dirumuskan Bill Kovach--tugas wartawan adalah menyuarakan kebenaran, wartawan sendiri harus patuh kepada standar kebenaran yang sudah dikonsensuskan. Ada norma sosial di sana. Ada juga KUHP, KUHPerdata, dan tentu saja al-Quran yang melarang fitnah, ghanimah, risywah, dan sebagainyahhh....


(Saya paparkan di hadapan perwakilan pegawai Ditjen Badilag MA dan PTA Se-Indonesia di Bandung, 24 November 2007)