Sunday, December 07, 2008

Saya Wartawan, bukan Hakim



Tidak dari nol
Saya yakin Anda bisa menjabarkan definisi berita. Anda juga tak akan kesulitan menerangkan apa saja yang memiliki news value. Bahkan, Anda juga sudah paham bagaimana teknik membuat berita.


Hmmm, lega rasanya saya berdiri di depan Anda. Saya tak harus memulai dari nol. Yah, saya bisa langsung memulai dari....minus satu!


Jangan heran. Ada satu hal, agaknya, yang terlewatkan. Saya belum menyebutkan “rasa ingin tahu”. Percayalah, selama tidak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kita selalu kelimpungan: tidak tahu mau menulis apa.


Ingatkah Anda pada rumus 5W+1 H? Benar, itulah unsur-unsur berita. Rasa ingin tahu juga bisa diselaraskan dengan unsur-unsur berita: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana.


“Oh, jadi benar Herman nikah lagi?”, “Istri barunya orang mana ya?”, “Masa sih nikahnya kemarin?”, “Rumahnya yang di dekat sungai itu ya?” “Benar nggak sih, ini karena istri pertamanya tidak mau diet sehingga terlihat gembrot?”, “Terus, ramai nggak acaranya kemarin?” Itulah sederet contoh pertanyaan yang menyiratkan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.


Kalau Anda ingin menulis lebih jauh, Anda bisa tambahkan pertanyaan: “Lalu, apakah istri pertama Pak Herman akan segera diceraikan?”, “Dulu kan Pak Herman menentang poligami, tapi kenapa sekarang malah jadi pelaku poligami?” dst.


Sebenarnya 5W+1 H sudah cukup bisa memandu rasa ingin tahu kita terhadap sesuatu, terutama bila kita hendak menulis dengan gaya straight news. Namun, untuk menulis sebuah berita yang agak mendalem, selain berangkat dari pertanyaan-pertanyaan standar itu, kita juga harus fokus kepada pertanyaan “mengapa?” dan “lalu apa?”


Setelah mengetahui sisi menarik sebuah fakta, segeralah Anda fokuskan diri untuk menulis sisi yang menarik itu. Misalnya ada fakta: Istri Herman gembrot karena tak mau diet. Ia tak mau diet karena tak yakin diet itu akan membuatnya kurus. Seorang tetangganya pernah diet ketat, eh malah akhirnya mati dengan busung lapar....dst.


Tiga saja
Jurnalistik itu sebenarnya sederhana. Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi. Tentu ada banyak rambu-rambu sebagaimana terjabarkan dalam Kode Etik, UU Pers, maupun peraturan yang sifatnya internal. Meski demikian, sederhananya, jurnalistik memang hanya terdiri dari tiga proses itu.


Teknik utama reportase pada dasarnya adalah melihat (observasi). Hmm, sederhana, kan? Tapi ingat, melihat dalam dunia jurnalistik, tak sebatas menatap gambar atau peristiwa secara sepintas. Melihat, dalam konteks ini, adalah mengamati sesuatu dari banyak sisi; dari banyak situasi. Jadi, pengambilan sudut pandang sangat-sangat berpengaruh terhadap hasil observasi.


Observasi ini terpilah menjadi tiga: observasi benda tak bergerak, benda bergerak, dan peristiwa. Wartawan yang baik selalu menyukai deskripsi dan narasi. Tentu, upaya itu akan terkesan asal-asalan bila wartawan tak lihai melakukan observasi.


Di samping observasi, untuk mendapatkan informasi, wartawan harus melakukan wawancara. Ada banyak jenis wawancara dengan berbagai karakteristik. Yang pasti, untuk melakukan wawancara, seorang wartawan harus punya persiapan. Sebelumnya ia harus melakukan riset—meski kecil-kecilan. Riset itu tak hanya menyangkut materi pertanyaan, tapi juga mengenai sosok yang akan diwawancarai.


Usai riset, uraikanlah pokok-pokok pertanyaan. Sebagian besar wartawan suka menyebutnya ‘out line’. Yah, semacam garis besar pertanyaan. Karena garis besar, ia bisa dikembangkan sedemikian rupa.


Ada sekian banyak tipe nara sumber. Yang paling gampang diwawancari tentu orang-orang yang sedang butuh publikasi. Para pengacara yang kebetulan mewakili penggugat, misalnya, suka berkoar-koar di hadapan wartawan agar kasus yang ditanganinya terekspos. Sebaliknya, pengacara tergugat justru mengunci mulutnya karena khawatir kejelakan kliennya terendus.


Pengacara, dosen, anggota DPR, atau pejabat setingkat eselon I biasanya tergolong nara sumber yang gampang diwawancarai. Mereka yang sulit diwawancarai adalah hakim, pemimpin militer, menteri, dan tentu saja presiden.


Para praktisi jurnalistik selalu menganjurkan agar wartawan bisa ‘mengambil’ hati nara sumber. Biasanya, jika merasa tidak nyaman dengan tingkah atau pertanyaan wartawan, narasumber memilih menghindar.


Ada banyak cara meluluhkan hati narasumber. Salah satunya ialah dengan menempatkan pertanyaan sensitif di penghujung wawancara. Tentu dengan catatan: sang wartawan bisa mengukur kapan wawancara berakhir. Seringkali, waktu untuk wawancara sangat terbatas. Pada wawancara door stop, misalnya, wartawan dituntut mengefektifkan waktunya sebaik mungkin. Dalam kondisi seperti ini, langkah terbaik adalah bertanya straight to the point.


Tapi mesti diingat, wawancara tidak sama dengan interogasi. Kartu pers tidak membuat wartawan bisa berperilaku seperti polisi. Wartawan juga harus menghindari perdebatan dengan nara sumber.


Terkadang, harus diakui ada wartawan yang mengandalkan teknik bluffing (menggertak). Tapi ingatlah, hanya wartawan tertentu yang bisa seperti itu. Yang jelas mereka bukan wartawan yang sok tahu, tapi memang benar-benar cukup tahu persoalan yang sebenarnya. Biasanya mereka punya segepok data yang tergolong “Top Secret”.


Selain observasi dan wawancara, cara lain yang harus ditempuh wartawan untuk mendapat informasi ialah dengan mempelajari dokumen. Terdapat banyak sumber informasi tertulis dewasa ini. Wartawan bisa membuka-buka buku, makalah, website, dsb.


Bila seluruh informasi dirasa lengkap, proses berikutnya adalah mengolahnya. Kita harus pandai memilah informasi yang perlu dan informasi yang hanya berupa statemen klise. Setelah itu tinggal disajikan kepada pembaca.


Lima menit = tiga berita
Sayang sekali, karena diburu deadline, para jurnalis online kerap tidak menggunakan tiga jenis teknik reportase tadi. Kebanyakan mereka hanya mengutip omongan nara sumber. Wawancara yang berlangsung lima menit, terkadang bisa menjadi tiga berita dengan judul yang tak saling terkait. Begitulah pengalaman beberapa rekan saya yang bekerja di sebuah portal-berita-online tersohor.


Tidak mengherankan, berita yang dihasilkan pun sangat dangkal. Goenawan Mohamad menyebutnya jurnalisme ludah, karena hanya berisi kutipan-kutipan omongan nara sumber. Tentu, pembaca ingin memperoleh lebih dari sekedar kutipan. Pembaca juga menginginkan data atau background yang memadai.


Tentu saya bisa memahami mengapa sampai muncul jurnalisme ludah. Para wartawan media online selalu dituntut untuk lebih lincah, cepat, dan ‘ambil yang ada’. Maksudnya, tak perlu menunggu banyak informasi pendukung.


Tapi ingat, jurnalisme ludah hanya cocok untuk media tertentu. Di media cetak, saat ini ada kecenderungan pembaca menyukai info-info yang disajikan dengan angka. Harian Republika dan Top Skor sudah mulai menerapkannya. Nah, formula serupa agaknya juga cocok untuk media online.


Lalu lintas kata
Ciri utama media online adalah kecepatan. Sejauh ini memang tidak ada yang menyangkalnya. Namun demikian, kecepatan saja tidak cukup.


Harus cepat sekaligus akurat? Yup. Betul sekali. Akurat berarti tidak ada yang keliru. Semua disampaikan “apa adanya”. Tidak membumbui. Juga tidak menggurui.


Selain itu, media online juga harus selalu mengaitkan sebuah informasi dengan informasi lain. Bila dalam ilmu tafsir dikenal istilah munasabah, maka dalam jurnalisme online dikenal hyperlink. Kalau tidak memakai hyperlink, tiap berita sebaiknya didampingi oleh beberapa berita terkait, di bawah atau di sampingnya.


Satu lagi. Jurnalisme online sangat menekankan interaksi antara penyedia berita dengan pembaca. Sebuah website kini harus memberi ruang kepada masyarakat untuk berkomentar.


Agar lalu lintas kata bisa teratur dengan baik, pengelola website bisa menempuh beberapa jurus. Misalnya, membuatkan forum rembug di milis. Atau, bisa juga dengan menyisakan ruang khusus komentar seperti di hukumonline.


Partisipasi pembaca tidak hanya berwujud komentar. Untuk meralat berita, misalnya, pembaca juga bisa berkirim surat pembaca yang isinya lebih panjang dari pada komentar. Pembaca juga dapat berkirim surat untuk rubrik konsultasi, bahkan mengirim hasil reportase dan artikel.


Tahu posisi
“Anda ini kurang ajar ya. Mestinya Anda tahu, siapa kawan siapa lawan!” Gertakan itu keluar dari seorang advokat senior, lewat gagang HP. Ia memprotes keras berita yang saya tulis. “Siapa yang menulis berita ini? Siapa sumbernya?” Dia terus mengejar. Bahkan kata-katanya menerorku hingga susah menulis berita.


Peristiwa itu begitu membekas. Setelah itu, saya ingin sekali menguak hubungan simbiosis mutualisme antara redaksi dengan pembaca, redaksi-pemasang iklan, dan redaksi-pemilik perusahaan. Belakangan saya mengerti: kebebasan wartawan memang dibatasi oleh kebijakan redaksional.


Pemimpin redaksi, dalam sebuah rapat redaksi, berhak menentukan berita apa saja yang akan ditulis wartawan. Ia juga berhak melarang wartawan menulis berita tertentu. Pula, ia berhak menentukan angle sebuah berita.


Maka, wartawan pada akhirnya harus mengerti kebijakan redaksional; memahami posisi medianya. Jika tempat ia bekerja ialah media milik lembaga negara, tentu si wartawan tak bisa leluasa menulis beragam tema. Berita-berita yang ditulisnya terbatas kepada tugas dan wewenang lembaga negara itu. Kalaupun agak melebar, pasti hanya menyangkut prosesi pernikahan anak Dirjen, pidato pengukuhan besar seorang pejabat teras, dst.


Masih ada hakim lhoo...
Media massa pada dasarnya adalah alat pertukaran informasi. Di samping menyediakan ruang bagi pejabat untuk bicara, media juga mesti menyediakan tempat berteriak bagi rakyat jelata. Yah, bukankah rakyat sukanya demo dengan suara lantang?


Menjadi moderator juga mediator. Itulah tugas media. Maka, jangan sekali-kali melampaui tuntutan itu. Media yang berisi berita-berita hukum, misalnya, tidak boleh bertindak menjadi hakim yang memvonis suatu kasus yang masih disidangkan. Trial by the press itu namanya.


Bila itu terjadi, tentu ada pihak yang merasa dirugikan. Alih-alih menjadi hakim, wartawan dan media yang kebablasan seperti itu malah bisa diseret ke muka hakim yang sebenarnya. Bisa pidana, bisa juga perdata.


Mungkin dari tadi Anda bertanya-tanya: mengapa saya memberi judul tulisan ini “Saya Wartawan, bukan Hakim”?


Kini Anda tahu jawabannya.... Sebab wartawan, dari media apapun, bukanlah pihak yang diserahi tanggung jawab untuk mengetok palu di meja hijau. Biarpun--sebagaimana dirumuskan Bill Kovach--tugas wartawan adalah menyuarakan kebenaran, wartawan sendiri harus patuh kepada standar kebenaran yang sudah dikonsensuskan. Ada norma sosial di sana. Ada juga KUHP, KUHPerdata, dan tentu saja al-Quran yang melarang fitnah, ghanimah, risywah, dan sebagainyahhh....


(Saya paparkan di hadapan perwakilan pegawai Ditjen Badilag MA dan PTA Se-Indonesia di Bandung, 24 November 2007)

Saturday, October 18, 2008

Herman Hasyim dan Kelik yang Lain

Awalnya Herman Hasyim hanya ingin bekerja. Hanya dengan bekerja, ia akan mengantongi rupiah. Sesederhana itulah angan-angannya selepas lulus kuliah, Maret 2006.


Sebuah kesempatan terhampar. Hukumonline membutuhkan reporter baru, tepat ketika Herman genap menganggur 6 bulan. Harapannya melambung. Apalagi, Herman sudah bosan dengan sindiran Iwan Fals dengan “Sarjana Muda”-nya:


Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu


Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya.........



Herman masih ingat, tiap kali mendengar lagu itu, ia—dan teman-temanya yang masih menggelandang—selalu mengelak: seakan-akan Sarjana Hukum Islam berbeda dengan sarjana muda. “Lagipula, aku kan kuliah lima setengah tahun, bukan empat tahun,” celetuk Herman.


Dengan optimisme yang menjulang, Herman mengajukan lamaran ke hukumonline. Dan, tanpa banyak mengalami kesulitan, Herman berhasil menduduki satu kursi lowong di redaksi hukumonline. Media yang dikelola PT Justika Siar Publika ini mengkhususkan pemberitaannya pada masalah hukum. “Hukum untuk Semua,” begitu slogan media yang didirikan pada 14 Juli 2000 ini.


Menjadi reporter yang melulu bergelut dengan dunia hukum sesungguhnya bukan pekerjaan yang benar-benar diidamkan Herman. Baginya, dunia hukum adalah dunia yang simetris. Segalanya dibuat serba kaku, statis, beku.


Namun Herman pelan-pelan berusaha mengikis sendiri kesan negatifnya terhadap dunia hukum. Belakangan ia sadar: tak ada apapun di kolong bumi ini yang berdimensi tunggal. Hukum pun, jika dipantau dengan cermat, selalu bertalian dengan masalah politik, ekonomi, bahkan budaya.


Yang justru bergejolak di benakHerman ialah pertanyaan-pertanyaan seputar tempat ia mengais nafkah. “Media seperti apakah yang aku diami ini?” “Bagaimana orang-orangnya?” ”Cerah atau suramkah masa depannya?”


Pertanyaan-pertanyaan itu, tentu saja, menyiratkan kekhasan orang baru yang melihat peta media di ibu kota dengan mata setengah rabun. Ia tak mau terkecoh seperti Christophorus Columbus yang mengira Amerika sebagai India, hanya karena salah membaca peta. Karena itu, dengan sederet pertanyaan itu Herman juga hendak meyakinkan diri: bahwa ia tak terdampar di pantai yang salah, yang antah berantah.


26 September 2006, tepat sehari sebelum puasa ramadhan, Herman mulai menjadi penduduk Puri Imperium. Di apartemen yang kini bersebelahan dengan gedung KPK, jalan Rasuna Said Jakarta Selatan, inilah hukumonline berkantor.


Begitu memasuki pintu masuk kantor ini, Herman segera tahu bahwa ia berada di sebuah komunitas, bukan di sebuah perusahaan. Dan konon, ini adalah komunitas elit karena orang-orangnya berasal dari Universitas Indonesia (UI). Di komunitas ini, selain hukumonline, ada juga saudara tua bernama PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan). Belakangan muncul juga Daniel S Lev Library.


Menjadi bagian dari ‘komunitas elit’ membuat Herman harus melakukan akselerasi. Sepenuhnya Herman menyadari bahwa ia berangkat dari kampus yang sudah lama sering dipandang sebelah mata: IAIN. (Bahkan ada yang memplesetkannya menjadi Institut Agama Insya-Allah Negeri). Karena itu, Herman tak mau jadi bahan olok-olok. Herman juga tak ingin nanti jadi ‘kaum minoritas yang sakit hati’.


Tentang ‘kaum minoritas yang sakit hati’ ini, Herman teringat betul kisah Kelik Pelipur Lara. Pelawak asal Jogja yang meroket ketika memarodikan Jusuf Kalla dalam Republik BBM ini bernasib naas ketika memilih berkonfrontasi dengan Effendy Ghazali & The Gank yang berasal dari UI.


Ketika dibelit kesibukan mengisi berbagai acara di sejumlah stasiun televisi, mau tak mau Kelik harus membagi energi dan konsentrasi. Di pihak lain, Effendy Ghazali memintanya fokus saja di Republik BBM, toh kelik sudah jadi wakil presiden—dan tentu saja ikon acara ini, selain Taufik Savalas (almarhum) yang memplesetkan karakter SBY.


Dalam kondisi susah membagi energi dan konsentrasi itulah konflik menyeruak. Effendy terang-terangan menegur Kelik. Tapi kelik, dengan kekerasan hati ala Jogja, juga tak begitu saja legawa. “Orang-orang UI tahi!” umpat Kelik. Setelah itu bisa ditebak: Kelik didepak dari Republik BBM.


Kisah Kelik adalah kisah sakit hati kaum minoritas. Meski Kelik dan Dik Pendi –panggilan akrab Effendy Ghazali—di kemudian hari sempat rujuk, jejak-jejak perseteruan itu toh belum sepenuhnya musnah.


Juli 2008, Herman menyudahi hubungannya dengan hukumonline. Apakah kisah Kelik terjadi juga pada Herman? Sampai menghembuskan nafas terakhirnya, empat puluh tahun yang lalu, Herman tak pernah bilang “Tidak”.

Saturday, August 02, 2008

Herman Hasyim

Siapakah Herman Hasyim? Sewaktu kecil dulu, kita mengenalnya sebagai kolumnis yang kritis nan kocak. Atau, setidaknya seorang cerdik yang pandai mengutak-atik kata. Kita juga mengenalnya sebagai tokoh yang tak punya pendirian: tak punya organisasi dan enggan memfanatikkan keyakinannya.

Empat puluh tahun setelah kepergiannya, saya menemukan sepetak kamar di sebuah kontrakan di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Terletak di lantai dua, luasnya cuma 2 x 3 meter. Tak ada AC. Catnya sudah terkelupas, seperti kebanyakan kos-kosan di daerah ini.

Sore itu saya menelisiki kamar yang sempit dan pengap itu untuk mencari sisa sejarah yang tersembunyi. Saya tidak mendapatkannya secara utuh. Di kamar itu hanya ada sebuah jendela yang mengarah ke Jalan Taman Margasatwa.

Kontrakan ini dioperasikan pada tahun 2007. Di antara penyewa kamar, berdasarkan data pemilik kontrakan, tidak ada nama Herman Hasyim. Yang ada ialah Hermansyah. Lahir di Tuban, 10 Agustus 1982, sehari-hari ia bekerja selaku reporter di sebuah media online. Ia suka pulang dini hari.

Mengapa Hermansyah mengubah namanya menjadi Herman Hasyim dan bagaimana kolumnis dengan tubuh kerempeng ini mengisi hari-harinya sebagai wartawan? Saya tak tahu persis. Barangkali ia mendapatkan nama belakang “Hasyim” dari nama ayahnya: Nurhasyim. Dan, kemungkinan ia merakit kolom-kolomnya selepas kerja hingga subuh.

Dengan bantuan rokok dan kopi, ia sanggup menghasilkan karya. Tapi dengan itu pula tubuhnya menjadi ringkih dan akhirnya tak berdaya pada usia 40-an. Bagi mereka yang makan dan tidur secara teratur, Herman Hasyim adalah pemuda yang sembrono. Orang yang gemar menyepelekan kondisi kesehatannya. Namun kita mesti menempatkannya sebagai pribadi yang unik. Ia tidak pernah jatuh cinta kepada kehidupan yang tertib: kehidupan yang simetris.

Seorang penulis pernah menyinggung bagaimana posisi Herman Hasyim dalam sejarah tulisan populer di Indonesia: Herman Hasyim memang tak mengusung corak yang benar-benar baru, tapi ia membangkitkan kembali ruh Art Buchwald yang sudah tertimbun tanah itu.

Herman Hasyim, masih menurut penulis itu, telah menyegarkan kembali artikel-artikel koran yang terlanjur identik dengan kekakuan dan kegersangan. Ia sering memperkenalkan kosa kata baru, terampil mengembangkan humor, dan memboboti tulisannya dengan pandangan yang galak namun selalu membikin pembaca terbahak-bahak.

Dalam banyak hal, agaknya ia seperti Farid Gaban—mantan wartawan Tempo dan Republika yang membukukan kumpulan kolomnya dalam “Belajar Tidak Bicara”. Dalam beberapa hal ia juga seperti Harry Roesli, yang kolom-kolomnya di rubrik “Asal-Usul” Kompas begitu menggelitik. Tapi Herman Hasyim pernah mengatakan bahwa ia sangat mengagumi kolumnis era 1970-an Mahbub Djunaidi. Ia juga gandrung kepada Samuel Mulia, penulis rubrik “Parodi” di Kompas, yang gemar menelanjangi kebusukannya sendiri.

“Aku ini cuma tulang belulang,” kelakar Herman Hasyim, “tapi aku adalah tulang punggung keluarga.”

Berjuang Melawan Pelecehan

Akhir September 2006, seorang pemuda 23 tahun hijrah, menaiki sepur, ke Ibu Kota Jakarta. Dengan mata berkaca-kaca ia tinggalkan kekasihnya, yang demikian menyayanginya, buat mengadu nasib. Apa sesungguhnya yang dicarinya?

Sejarah kemudian berkisah bahwa Hermansyah meninggalkan Tuban, juga Surabaya, untuk mewujudkan mimpinya: meniti karir dan mengumpulkan rupiah. Tapi apa yang berlalu tak sesederhana yang ia bayangkan.

Pada mulanya ia memasuki apartemen Puri Imperium, menginjakkan kakinya di kantor hukumonline, dan meneken sebuah kontrak. Isinya: sebuah ikatan kerja, dengan posisi reporter dan gaji satu koma sekian juta. Selama tiga bulan pertama ia menjadi pekerja waktu tertentu. Bila dinyatakan lulus masa percobaan, ia menjadi pekerja waktu tidak tertentu alias karyawan tetap. Isi kontrak itu tak lama kemudian tersiar hingga ke Tuban.

Waktu itu, Tuban masih merupakan kabupaten yang terbelakang. Kekuasaan masih dipegang Golkar dan bupati Haeny Relawaty bak berkuasa tanpa batas. Singgasananya pernah dibakar rakyat usai Pilkada. Tapi ia, dibentengi sang suami yang tak lain adalah pengusaha terkaya di Bumi Ronggolawe, bisa mematahkan ‘pemberontakan’ itu. Pemerintahan berlangsung koruptif. Masyarakat kelas bawah terus menjerit, tapi hanya bergema di bilik-bilik pengap.

Hermansyah tentu ingin turut memperbaiki kondisi kampung halamannya. Ia seorang sarjana. Dan lebih dari lulusan perguruan tinggi lainnya, ia piawai menulis. Ia bisa menjadi jurnalis yang menghasilkan berita-berita kritis.

Tapi toh ia pergi ke Batavia: kota yang garis nasibnya sudah sedemikian jelas. Sungguh, kota ini tidak membutuhkan seorang perantau macam ia. Lantas?

Buku harian Hermansyah, yang berisi tulisan yang begitu memikat, menceritakan banyak hal: di balik raganya yang kurus, ia memendam ambisi besar. Pemuda berkulit gelap, yang hobi bermain catur ini, lahir dari keluarga sudra. Ia ingin kaya dengan berkarya. Ia ingin dikenang keluarga sebagai anak yang berbakti.

Namun menaklukkan Jakarta bukan pekerjaan gampang. Hermansyah, yang lahir di Sumurcinde yang jauh dari ibu kota, menjadi seorang yang kikuk. Bagi orang macam dirinya, Jakarta adalah kota yang bisa membuat celaka. Di sini para profesional muda bersolek dan berparfum, luwes dan kadang sadis. Hermansyah tidak. Di suatu hari di kantor, si canggung ini bahkan pernah jadi bahan tertawaan: ia salah menyebut Inayah sebagai Sheila. Semua gara-gara ia jarang bergaul dengan karyawan perempuan.

Hermansyah mencoba keluar dari situasi seperti itu. Tentu, ia tak betul-betul mengakui kekurangannya sendiri. Tapi pandangan meremehkan dari orang-orang di sekitarnya, membuat ia selalu habis-habisan membuktikan kemampuannya.

Demikianlah, ia menjalin hubungan erat, tanpa sepengetahuan Kantor, dengan sejumlah kalangan. Membangun relasi, demikian ia menyebutnya, ia lakukan bukan cuma untuk menambah daftar narasumber. Ia juga ingin memperoleh apa yang diharapkan pekerja kelas bawah lainnya: peningkatan karir.

Dan ternyata ia berhasil, setelah berpuluh-puluh hari dilanda frustrasi. Dengan kemahiran menulis, ditopang kegigihannya untuk berjuang melawan pelecehan, ia mendapat kemenangan. Di sebuah tempat kerja yang baru, posisinya lumayan menanjak. Walau gajinya tak terlalu menjulang, namun ia merasa nyaman. Yah, kenyamanan itulah yang sangat ia butuhkan ketika sang jabang bayi yang dikandung Dewi, istrinya, akan nongol ke dunia dalam hitungan hari.

Jakarta, Jumat (awal Juli 2008)

Enrichissez Vouz!

Seruan itu tak hanya datang dari orang-orang bermulut wangi yang lehernya selalu dicekik dengan dasi. “Jadilah kaya!” adalah seruan semua penghuni kota ini.

Aku dengar seruan itu, Sayang. Aku mendengarnya seraya mengutuk kemiskinan ini. Siapa yang tak ingin naik ke jenjang yang lebih tinggi? Siapa?

Tapi hari ini masih hari yang sengsara. Hari yang kita sebut ‘jaman perjuangan’. Kita bukan pengecam para maniak uang, tapi kita juga bukan orang yang suka hidup dengan kerendah hatian orang lain.

Kemiskinan ini, Sayang, tidak mudah dijinakkan. Percobaan demi percobaan untuk mendapatkan laba-lebih selalu mandek. Yang ganjil, banyak manusia seusia kita telah tiba lebih dulu ke jenjang itu: kemakmuran dengan segala keriuhannya.

Kita baru akan mencicipi buah yang kita tanam belasan tahun. Kita selalu percaya pengetahuan yang kita kumpulkan di bangku sekolah akan menolong kita di kemudian hari. Tapi masa panen itu belum benar-benar tiba.

Kau bilang kita adalah bagian dari masyarakat yang tak kena kutuk. Kau menunjuk seorang tetangga yang sarjana tapi kerjanya adalah mencari pekerjaan. Itu benar, Sayang. Tapi sehebat-hebatnya kita, toh nyatanya hari ini kita masih makan bersama dari piring yang sama.

Ada yang mengarahkanku agar berjungkir balik di sajadah, merapalkan doa, dan berharap tangan yang tak terlihat itu mau terlibat memperbaiki nasib kita. Aku tak melakukan itu. Bukan, bukan karena aku menganggapnya tahayul. Aku hanya ragu apakah dengan melakukan itu segala isak tangis akan habis.

Aku percaya, di masa sengsara, ide-ide menyeruak. Inilah periode lahirnya pikiran-pikiran brilian. Karena itu, selain mengkutuk keadaan ini, sejatinya aku juga merindukannya. Membuncitkan perut dan mencerahkan pikiran terkadang tak bisa dilakukan serentak.

Maka menjadi kaya tak mesti diukur dengan seberapa banyak rupiah yang telah kita tumpuk. Gagasan-gagasan yang kita kembang biakkan akhir-akhir ini juga bisa membuat kita jadi borjuis. Atau setidaknya kita adalah kaum proletariat yang hebat….

(Thanks to Goenawan Mohamad, sumber inspirasiku)

Tragediku

Pada mulanya ia nyanyian sendu. Di kemudian hari orang menyebutnya ‘tragedi’.


Pagi ini aku diguncang tragedi itu. Batinku terseok-seok di antara masa lalu dan masa depan. Kenangan-kenangan itu belum lapuk benar. Ia masih menusuk-tusuk.


Aku ingat kau hadir di kotaku. Membawa senyum. Menenteng tas dengan buku harian di dalamnya. Kau tulis hari-harimu bersamaku. Suka duka. Dan kau selalu bilang sangat mencintaiku.


Yang hadir tak hanya ragamu. Kau mengantarkan jiwa sucimu. Kau tak pernah tidak menghadiahiku semangat. Aku yang terpuruk, hampir takluk oleh keadaan, jadi tahu betapa bangkit dan menatap masa depan adalah keniscayaan. Dan kau selalu bilang aku bisa melepaskan diri dari masa sulit yang terus melilit.


Kini kau telah jadi istriku. Kau yakin, kita mampu melakoni skenario kehidupan. Kau seperti peramal yang tahu masa depanku. Aku manggut-manggut saja. Sebab, dengan kau di sisiku, tidak ada yang tak mungkin kugapai.


Tapi tragedi itu toh datang juga. Selepas kau pulang, aku seperti ikan yang terjatuh di kolam yang airnya sudah dikuras. Hidung ini seperti kehilangan nafas. Padahal di sisi lain aku mencicipi apa yang sering diidamkan para lelaki itu: kebebasan.


Ah, kebebasan. Aku sudah merengkuhnya bertahun-tahun. Kebebasan ternyata membuatku lelah. Apa artinya tidur dan melekku jika kau tak lagi di sini? Aku lelah, Sayang. Aku takut punah. Kau adalah airku. Tanpamu, bisakah aku hidup?