Monday, December 28, 2009

Pamit yang Pahit

Menara Poeteri dan Madina bukanlah saudara kembar. Namun kedua majalah beda-generasi ini punya kemiripan: sama-sama mengusung nafas Islam dan sama-sama tak bisa berumur panjang.

Menara Poeteri adalah majalah mingguan yang terbit di Medan, pada 1937, dipimpin oleh Rasuna Said—seorang wanita pejuang yang pernah dibui pemerintah kolonial Belanda . Meski ditujukan untuk kaum hawa, semboyan yang dicanangkan majalah ini sungguh jantan: “Ini Dadaku, Mana Dadamu”.

“Kupasannya jitu. Suara yang dibawakannya lantang, laras dan pantas dengan pembawaan Pemimpin Redaksi-nya,” tulis Soebagijo I.N., dalam buku Jagad Wartawan Indonesia, tentang majalah ini.

Sayangnya Menara Poeteri lekas gulung tikar. Mengenai sebab-musababnya, dikemukakan sendiri oleh Pemimpin Redaksinya:

“Dengan sedih dimaklumkan pada seluruh abonne Menara Poeteri oleh sebab: (a) hanya 10 % dari abonne yang suka membayar (b) 90 % dari seluruhnya abonne suka baca, tetapi tidak suka bayar; sekira majalah dikembalikan karena tidak mau membayar, tidaklah menjadi penyesalan (c) hal itu telah berjalan dua kuartal. Menjaga tenaga, uang dan pikiran yang hilang percuma, maka mulai nomor yang akan terbit tanggal 20 Juni ini Menara Poeteri tidak diterbitkan lagi, buat sementara waktu yang tidak ditentukan.”

Kemudian muncullah kalimat perpisahan yang menggetarkan itu:

“Para abonne dan agenten yang masih berhutang uang langganan dipersilahkan memilih satu di antara dua: perhitungan di dunia atau perhitungan di akherat.”

Pada 2009 ini, setelah 19 bulan menyapa pembacanya, Madina juga terpaksa angkat kaki dari dunia pers. Dalam permohonan pamitnya, Farid Gaban dkk menulis:

“Kami bersama di sini memutuskan untuk berhenti terbit karena satu alasan: secara ekonomis, kami tak mungkin bertahan. Sebagai sebuah produk bisnis, Madina harus memperoleh pemasukan yang lebih besar daripada pengeluaran. Dan itu yang tidak kunjung bisa dicapai.”

Bila Pemimpin Redaksi Menara Poeteri menyebut-sebut perhitungan di dunia dan akherat, Pemimpin Redaksi Madina membawa-bawa nama Tuhan dan malaikat, dengan menyatakan:

“Kami percaya para malaikat akan mencatat nama-nama para penyandang dana, para sponsor, para pengiklan, para pendukung, para pembeli, para pembaca, para penjaja, yang tanpa mereka majalah ini tak akan ada. Kami berdoa, apa yang mereka dan Anda lakukan, punya makna di mata Sang Pencipta.”

Oh, mestikah kata-kata pamit selalu terasa pahit.....?!!

Tuesday, November 10, 2009

Tuhan Tidak Ngorok, Kan?

Pada dasarnya, segala sesuatu di jagad ini dibedakan menjadi dua: misteri dan non-misteri. Yang pertama tidak bisa didefinisikan, tetapi hanya bisa dijabarkan dengan metafora. Yang kedua bisa didefinisikan.

Tuhan adalah misteri. Ia ada, tapi tidak bisa digambarkan dengan kata-kata maupun grafis. Kalaupun seseorang berupaya menjelaskannya dengan kata-kata, hasilnya adalah ketidaksempurnaan. Artinya, kata-kata itu tidak akan sanggup menggambarkan Tuhan yang sesungguhnya. Kata-kata hanya akan menghasilkan lebih banyak kata-kata.

Tuhan, dalam hal tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tak ubahnya sebuah rasa. Contoh: rasa pedas. Bisakah seseorang menggambarkan bagaimana rasa pedas itu? Tidak bisa. Paling-paling, orang akan bilang: pedas adalah rasa dari cabe. Penggambaran seperti itu tidak cukup, meskipun orang bisa memahaminya. Yang diperlukan adalah penggambaran yang lebih lugas, jelas, dan rinci.

Nah, Tuhan lebih susah lagi digambarkan, karena ia tidak bisa diobservasi, dan tidak bisa pula dijadikan objek eksperimen. Cara terbaik menggambarkan Tuhan, karena itu, bukan dengan definisi, melainkan dengan metafora.

Definisi, secara sederhana, berarti penjabaran dan pembatasan. Jika sesuatu didefinisikan, berarti ia harus dijabarkan, sekaligus dipatok batas-batasnya untuk membedakan sesuatu itu dengan yang lainnya. Contoh, definisi baju dan celana. Keduanya sama-sama pakaian, tetapi dengan fungsi yang berbeda. Untuk membedakan hal satu dengan yang lainnya, biasanya yang dijadikan acuan adalah bentuk, sifat, fungsi, dll.

Bagaimana dengan metafora. Ia adalah perumpaan. Kalau kita membuka-buka teori perumpaan, dari sudut pandang bahasa, ia masih dibedakan menjadi beberapa. Di antaranya yang paling sering kita pakai adalah metafora dan personifikasi. Namun dalam konteks ini, metafora saya identikkan dengan perumpamaan.

Kitab suci apapun tidak pernah memberikan definisi yang utuh tentang Tuhan. Yang ada ialah penggalan-penggalan ayat yang berisi metafora. Mengapa begitu? Tuhan menggambarkan dirinya sesuai ‘alat-alat pengetahuan’ manusia. Alat-alat itu ada tiga: nalar, indera, dan kalbu. Tuhan juga menghadirkan dirinya dengan menyebut-sebut sesutau yang sudah ada di jagad raya, agar manusia bisa gampang mencernanya. Misalnya Tuhan menyebut “tangan Tuhan”, “rumah Tuhan”, dll. Tangan dan rumah adalah term-term yang konkrit, yang bisa dipahami kebanyakan manusia.

Meski begitu, layaknya puzzle, jika dibiarkan berantakan, metafora-metafora itu tidak akan memiliki bentuk yang utuh. Dan, faktanya, hanya orang tertentu yang sanggup menyusun serpihan-serpihan pazzle itu. Karenanya, pemahaman seseorang tentang Tuhan menjadi sesuatu yang sangat pribadi. Hal itu tergantung kepada pengalaman subjektif, sudut pandang keilmuan, kepentingan kelompok, dll.

Lalu, bagaimana agar diskusi tentang Tuhan bisa memperoleh hasil yang brilian?

Pertama, petakan teori-teori tentang Tuhan yang pernah dibikin manusia. Atau setidaknya: tumpahkan konsep Tuhan yang ada di kepala Anda.

Kedua, pahami teori-teori itu dengan cermat. Jangan lupa telusuri cara berpikir atau rujukan orang yang membikin teori itu.

Ketiga, coba lakukan analisis satu per satu. Di mana letak keunggulan dan kelemahan suatu teori.

Keempat, bikinlah teori baru versi Anda.

Kelima, minta orang lain mengomentari teori baru Anda. Jika Anda bisa mempertahankan teori itu dengan argumen yang secara logika tak terbantahkan, berarti Anda cukup cerdas.

Keenam, beri waktu kepada diri Anda untuk merenung beberapa pekan. Coba ajukan pertanyaan apapun mengenai teori yang pernah Anda ‘temukan’ itu.

Ketujuh, jika sudah mantap dengan teori itu, Anda bisa menulis serta mempublikasikannya. Kelak, di suatu waktu, percayalah, akan ada orang yang punya teori yang akan merevisi teori Anda.

Mengapa bisa begitu? Tuhan itu pasti sempurna, namun teori atau pemahaman atau kata-kata kita tentang dia tidak akan sempurna.

Loh, kata sempurna itu kan kata yang ambigu, Bos?! Betul sekali. Mengapa? Karena kita memakai ukuran kita. Secara gampang, sempurna bagi Tuhan ialah: ia bisa menjadi apapun dan bisa melakukan apapun. Namun, ini menjadi catatan puenting, Tuhan belum tentu melakukan apa yang bisa dia lakukan. Contoh: dia bisa tidur, bahkan ngorok sambil ngompol. Tapi, apa Tuhan melakukan itu?

Monday, October 26, 2009

Gara-gara Pantat

Usai mengucapkan sumpah, Ketua BPK Hadi Purnomo melangkah ke depan, menuju ke sebuah meja yang di atasnya selembar kertas menanti dibaca dan ditandatangani. Dalam waktu bersamaan, Ketua MA Harifin Tumpa juga maju beberapa langkah. Mendadak, seorang panitia ikut-ikutan menghampiri meja itu. Lantas dia menjulurkan pena untuk Hadi Purnomo.

Dalam beberapa detik, panitia itu tak beranjak dari tempat berdirinya. Dia tak sadar, tindakannya itu mengundang jengkel beberapa kamerawan dan fotogrofer yang membidik momen yang hanya terjadi lima tahun sekali itu.

“Pak…Pak…. Minggir dong, Pak,” teriak seorang fotografer. Yang diteriaki ternyata membandel. Karena membungkukkan badan sewaktu mengukir tanda tangan, tubuh Hadi Purnomo kini terhalang tubuh si panitia. Alih-alih bisa membidik wajah Ketua BPK, yang dijepret si fotografer justru pantat si panitia.

“Waduh, Pak. Gara-gara pantat Bapak, gue kehilangan momen nih.” Kali ini fotografer itu nggerundel sendiri, sembari mencari celah yang pas di antara puluhan pemburu berita. “Kalau begini hasilnya, nggak akan dimuat, Pak.”

Insiden pantat ini terjadi di sela-sela pengucapan sumpah Ketua dan Wakil Ketua BPK di MA, Senin (26/10). Acara seremonial ini menjadi begitu penting, lantaran pemilihan anggota BPK periode 2009-2014 dari awal memang diselimuti kontroversi.
Awalnya, Komisi XI DPR menyetujui tujuh calon anggota BPK. Mereka adalah Hasan Bisri, Hadi Purnomo, Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, Taufiequrahman Ruki, Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti. Belakangan, dua nama terakhir ini didepak. Keduanya dianggap memiliki konflik kepentingan lantaran berasal dari internal BPK. Gunawan Sidauruk adalah Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat dan Dharma Bhakti adalah Sekjen BPK.

DPR merujuk pada Pasal 13 huruf j UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK. Salah satu syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota BPK adalah paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan Negara. DPR kian mantap mengambil keputusan setelah meminta fatwa MA.

Kontroversi itu kian menjadi-jadi setelah DPR memutuskan Muhamad Nurlif dan Ali Masykur Musa sebagai pengganti Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti. Bahkan ada yang menyebut DPR menggelar politik dagang sapi—entah sapi Madura atau sapi Australia—lantaran yang mereka untungkan adalah kolega mereka sendiri.

Sejatinya, DPR tidak keliru kala menggunakan Pasal 13 huruf j UU No.15 Tahun 2006 sebagai rujukan dalam menjaring anggota BPK. Namun DPR melakukan blunder yang fatal, karena menerapkan beleid itu pada detik-detik akhir seleksi. Mestinya dari awal DPR sudah berteriak lantang bahwa pejabat-pejabat seperti Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti tidak berhak ikut seleksi.

Kini, blunder itu telah melahirkan ‘gol bunuh diri’. DPR digugat. BPK juga terkena imbas. Institusi ini dinilai sejumlah kalangan sebagai sarang bagi politikus yang gagal mendapatkan kursi di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Buat sang fotografer yang gagal mendapatkan momen terbaik tadi, dengan mengambil angle tertentu, sesungguhnya proses seleksi hingga pelantikan anggota BPK bisa disuguhkan dengan foto yang bernilai jurnalistik tinggi. Sayang, kali ini upayanya tak membuahkan hasil maksimal. Yang dia dapatkan malah gambar pantat seorang panitia, yang tidak memiliki nilai berita, kecuali bila celana yang melekat di pantat panitia itu melorot secara tiba-tiba.

Thursday, October 15, 2009

Tuhan bukan Residivis

“Ternyata tuhan ada di ketiakku,” ujarku, melalui YM, kepada lelaki di seberang sana yang mengaku sebagai Pencari Tuhan. Sontan dia kaget. Namun belum sampai kekagetan itu sirna, aku sudah memaksa otaknya linu. “Apa di ketiakmu juga ada tuhan?”


Kekagetan itu mendadak diubahnya menjadi kejengkelan. “Maksud lu apa neh?”

“Aku sudah menemukan tuhan. Kenapa kamu masih mencarinya?” Aku berusaha menggiringnya ke ranah diskusi yang lebih serius. Tapi lelaki itu malah bengong. Barangkali otaknya yang linu belum berhasil dia pulihkan.

“Emangnya tuhan itu residivis?” Sekali lagi aku memancing nalar intelektualnya bekerja. Sayang, kembali pertanyaanku tak diresponnya. Begitu pula ketika aku menonjok otaknya dengan pertanyaan, “Ngapain kamu mencarinya? Mau kamu apakan Tuhan?”

Aku yakin dia sedang berpikir keras menjawab pertanyaanku tadi. Dan aku berharap dia sanggup memaparkan jawaban yang ringkas namun berbobot.

“Gw yang nyari, kenapa lu yang koment?” serunya, setelah hampir dua menit dia terpaku. Rupanya dia seseorang yang defensif.

“Baiklah, apa kamu mau membunuh tuhan, kayak Nietzsche?” Lagi-lagi aku berupaya menggodanya untuk mau bertukar isi kepala.

Namun upayaku sia-sia. Dia tak sanggup menggerakkan jemarinya untuk menata kalimat. Dia memilih kabur dengan sign out dari dunia maya. Dunia yang sehari-hari diakrabinya, konon, sebagai Pencari Tuhan.