Monday, October 26, 2009

Gara-gara Pantat

Usai mengucapkan sumpah, Ketua BPK Hadi Purnomo melangkah ke depan, menuju ke sebuah meja yang di atasnya selembar kertas menanti dibaca dan ditandatangani. Dalam waktu bersamaan, Ketua MA Harifin Tumpa juga maju beberapa langkah. Mendadak, seorang panitia ikut-ikutan menghampiri meja itu. Lantas dia menjulurkan pena untuk Hadi Purnomo.

Dalam beberapa detik, panitia itu tak beranjak dari tempat berdirinya. Dia tak sadar, tindakannya itu mengundang jengkel beberapa kamerawan dan fotogrofer yang membidik momen yang hanya terjadi lima tahun sekali itu.

“Pak…Pak…. Minggir dong, Pak,” teriak seorang fotografer. Yang diteriaki ternyata membandel. Karena membungkukkan badan sewaktu mengukir tanda tangan, tubuh Hadi Purnomo kini terhalang tubuh si panitia. Alih-alih bisa membidik wajah Ketua BPK, yang dijepret si fotografer justru pantat si panitia.

“Waduh, Pak. Gara-gara pantat Bapak, gue kehilangan momen nih.” Kali ini fotografer itu nggerundel sendiri, sembari mencari celah yang pas di antara puluhan pemburu berita. “Kalau begini hasilnya, nggak akan dimuat, Pak.”

Insiden pantat ini terjadi di sela-sela pengucapan sumpah Ketua dan Wakil Ketua BPK di MA, Senin (26/10). Acara seremonial ini menjadi begitu penting, lantaran pemilihan anggota BPK periode 2009-2014 dari awal memang diselimuti kontroversi.
Awalnya, Komisi XI DPR menyetujui tujuh calon anggota BPK. Mereka adalah Hasan Bisri, Hadi Purnomo, Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, Taufiequrahman Ruki, Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti. Belakangan, dua nama terakhir ini didepak. Keduanya dianggap memiliki konflik kepentingan lantaran berasal dari internal BPK. Gunawan Sidauruk adalah Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat dan Dharma Bhakti adalah Sekjen BPK.

DPR merujuk pada Pasal 13 huruf j UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK. Salah satu syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota BPK adalah paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan Negara. DPR kian mantap mengambil keputusan setelah meminta fatwa MA.

Kontroversi itu kian menjadi-jadi setelah DPR memutuskan Muhamad Nurlif dan Ali Masykur Musa sebagai pengganti Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti. Bahkan ada yang menyebut DPR menggelar politik dagang sapi—entah sapi Madura atau sapi Australia—lantaran yang mereka untungkan adalah kolega mereka sendiri.

Sejatinya, DPR tidak keliru kala menggunakan Pasal 13 huruf j UU No.15 Tahun 2006 sebagai rujukan dalam menjaring anggota BPK. Namun DPR melakukan blunder yang fatal, karena menerapkan beleid itu pada detik-detik akhir seleksi. Mestinya dari awal DPR sudah berteriak lantang bahwa pejabat-pejabat seperti Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti tidak berhak ikut seleksi.

Kini, blunder itu telah melahirkan ‘gol bunuh diri’. DPR digugat. BPK juga terkena imbas. Institusi ini dinilai sejumlah kalangan sebagai sarang bagi politikus yang gagal mendapatkan kursi di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Buat sang fotografer yang gagal mendapatkan momen terbaik tadi, dengan mengambil angle tertentu, sesungguhnya proses seleksi hingga pelantikan anggota BPK bisa disuguhkan dengan foto yang bernilai jurnalistik tinggi. Sayang, kali ini upayanya tak membuahkan hasil maksimal. Yang dia dapatkan malah gambar pantat seorang panitia, yang tidak memiliki nilai berita, kecuali bila celana yang melekat di pantat panitia itu melorot secara tiba-tiba.

Thursday, October 15, 2009

Tuhan bukan Residivis

“Ternyata tuhan ada di ketiakku,” ujarku, melalui YM, kepada lelaki di seberang sana yang mengaku sebagai Pencari Tuhan. Sontan dia kaget. Namun belum sampai kekagetan itu sirna, aku sudah memaksa otaknya linu. “Apa di ketiakmu juga ada tuhan?”


Kekagetan itu mendadak diubahnya menjadi kejengkelan. “Maksud lu apa neh?”

“Aku sudah menemukan tuhan. Kenapa kamu masih mencarinya?” Aku berusaha menggiringnya ke ranah diskusi yang lebih serius. Tapi lelaki itu malah bengong. Barangkali otaknya yang linu belum berhasil dia pulihkan.

“Emangnya tuhan itu residivis?” Sekali lagi aku memancing nalar intelektualnya bekerja. Sayang, kembali pertanyaanku tak diresponnya. Begitu pula ketika aku menonjok otaknya dengan pertanyaan, “Ngapain kamu mencarinya? Mau kamu apakan Tuhan?”

Aku yakin dia sedang berpikir keras menjawab pertanyaanku tadi. Dan aku berharap dia sanggup memaparkan jawaban yang ringkas namun berbobot.

“Gw yang nyari, kenapa lu yang koment?” serunya, setelah hampir dua menit dia terpaku. Rupanya dia seseorang yang defensif.

“Baiklah, apa kamu mau membunuh tuhan, kayak Nietzsche?” Lagi-lagi aku berupaya menggodanya untuk mau bertukar isi kepala.

Namun upayaku sia-sia. Dia tak sanggup menggerakkan jemarinya untuk menata kalimat. Dia memilih kabur dengan sign out dari dunia maya. Dunia yang sehari-hari diakrabinya, konon, sebagai Pencari Tuhan.