Bila Kupergi Kuingin Denganmu
Dara manisku kucinta padamu
Ah, Koes Plus mengembalikan romantisme yang telah raib itu. Ah, mereka mengingatkanku pada sosokmu. Benar kata orang, kita merasa memiliki sesuatu, jika sesuatu itu telah lenyap.
Mengapa harus sebegitu ironis? Apakah sudah jadi karakter manusia untuk menyia-siakan apa yang dimilikinya?
Oh kasihku, percayalah, kutelah menemukan betapa tololnya diriku membiarkanmu lenyap dimangsa waktu. Kuselalu rindu padamu sekarang. Sebuah perasaan yang dulu sama sekali tiada pernah kuhiraukan.
Tahukah kamu, bahwa ketika membikin lirik-lirik itu, Koes Plus juga sedang asik-asiknya menyia-siakan orang tercinta mereka. Sebab bagi mereka, yang tersayang adalah uang. Dengan uang, kasih saying orang bisa dengan mudah terbeli.
Tapi aku sedikit lain. Aku mengejar uang tidak untuk ‘membeli’ kasih sayang orang lain, selainmu. Dulu aku juga tak pernah mengumbar rupiah untuk merengkuh kecupmu.
Dara manisku, tahukah kamu bahwa aku sungguh merasa miskin sekarang. Aku kehilangan harta yang begitu mulia. Ia kabur, sebab harta itu adalah kamu yang meninggalkanku. Aku memang salah, karena sembrono: terlalu yakin bahwa kamu tak bakal terpikat lelaki lain. Lelaki yang kamu dambakan tentunya.
Selainmu, hartaku hanyalah beberapa lembar rupiah. Itupun tak seberapa. Kamu tahu, berapapun aku mengantongi gaji, pasti habis hanya untuk kubelikan rokok, buku, dan beberapa potong baju.
O, kasihku. Aku ingin bernyanyi sesendu-sendunya. Sebab aku sukar menangis. “Karena kamu tak punya hati,” begitu ucapmu dulu.
Biarlah, kasihku, biarlah aku tak punya hati. Toh bibir pekatku ini tak mungkin melantunkan sebait lagu, jika tiada yang membimbingnya. Barangkali masih ada cinta di dada ini. Barangkali…..juga masih ada getar cinta di dadamu.
Wednesday, November 07, 2007
Friday, September 14, 2007
Falak, Puasa, Silat Lidah
Di kampusku dulu, mahasiswa Fakultas Syariah punya 'common enemy' bernama Ilmu Falak. Istilah lainnya adalah ilmu Astronomi. Falak kian jadi momok lantaran dosen yang mengajarkannya tergolong dosen 'beneran'. Kusebut dosen beneran karena ia menerapkan standar yang tinggi dalam penilaian dan sangat mengutamakan kedisiplinan.
Jadinya, hanya 20% mahasiswa yang bisa bisa lulus. Selebihnya harus mengulang --atau melakukan perbaikan--pada semester berikutnya. Mungkin sulit dipercaya: aku bahkan baru berhasil lulus mata kuliah ini setelah memprogramnya empat kali!
Kali pertama, aku memprogram mata kuliah 3 SKS ini pada semester empat. Dosen yang mengajarku adalah Bpk Mukarrom. Ia sungguh dosen beneran. Seorang profesional. Sebenarnya Falak bukan sesuatu yang harus aku jadikan 'musuh', bukan juga mata pelajaran yang sulit dikuasai. Sebab, aku adalah lulusan jurusan IPA sewaktu di MAN (setingkat SMU). Yang jadi persoalan hanyalah kedisplinan. Bpk Mukarrom mengharuskan mahasiswa mengikuti kuliah minimal 70%. Tiap pekan ia menugasi para mahasiswa dengan PR seabrek.
Bagi aku, sebagaimana mahasiswa Fakultas Syariah lainnya, cara mengajar seperti itu kurang tepat. Kami menjadi tak ubahnya pelajar SMU. Apalagi aku terbilang 'rajin' absen dan malas merampungkan PR. Tak mengherankan selepas UAS, kuketahui nilai Falak-ku adalah NOL.
Pada pemograman berikutnya, aku diasuh Bpk Abdussalam, dekan di fakultasku. Dibandingkan dengan cara mengajar Bpk Mukarrom, cara mengajar Bpk Salam lebih lentur. Tapi dari segi penyampaian materi, Bpk Salam kalah jauh.
Ketika itu aku sudah agak sanggup memusuhi rasa malas.
Jadinya, hanya 20% mahasiswa yang bisa bisa lulus. Selebihnya harus mengulang --atau melakukan perbaikan--pada semester berikutnya. Mungkin sulit dipercaya: aku bahkan baru berhasil lulus mata kuliah ini setelah memprogramnya empat kali!
Kali pertama, aku memprogram mata kuliah 3 SKS ini pada semester empat. Dosen yang mengajarku adalah Bpk Mukarrom. Ia sungguh dosen beneran. Seorang profesional. Sebenarnya Falak bukan sesuatu yang harus aku jadikan 'musuh', bukan juga mata pelajaran yang sulit dikuasai. Sebab, aku adalah lulusan jurusan IPA sewaktu di MAN (setingkat SMU). Yang jadi persoalan hanyalah kedisplinan. Bpk Mukarrom mengharuskan mahasiswa mengikuti kuliah minimal 70%. Tiap pekan ia menugasi para mahasiswa dengan PR seabrek.
Bagi aku, sebagaimana mahasiswa Fakultas Syariah lainnya, cara mengajar seperti itu kurang tepat. Kami menjadi tak ubahnya pelajar SMU. Apalagi aku terbilang 'rajin' absen dan malas merampungkan PR. Tak mengherankan selepas UAS, kuketahui nilai Falak-ku adalah NOL.
Pada pemograman berikutnya, aku diasuh Bpk Abdussalam, dekan di fakultasku. Dibandingkan dengan cara mengajar Bpk Mukarrom, cara mengajar Bpk Salam lebih lentur. Tapi dari segi penyampaian materi, Bpk Salam kalah jauh.
Ketika itu aku sudah agak sanggup memusuhi rasa malas.
Thursday, May 31, 2007
Sebuah Nomor Penyebar Teror
Rabu malam (23/5), seseorang dengan nomer HP 081592174XX begitu gencar mengirimiku SMS. Pesan pertama (21:39:04) berbunyi, “monyeeet bajingaaan bangsaaat.” Setelah itu berturut-turut ada pesan: “Monyet gila ga mati2” (21:40:10), “Rasain rasain rasain hahaha hahaha” (21:42:07).
Lalu aku balas SMS itu,”Maaf, ini siapa?” Dia tak membalas. Sejenak kemudian aku coba menelponnya dengan nomer telpon kantor. Tapi nihil. Dia tak memedulikannya. Begitu juga ketika aku mengontaknya dengan nomer HP-ku sendiri.
Namun dia kemudian berkirim SMS lagi. “Yg sdh dilupakan, yg sdh dibuang, yg sdh dicampakkan, yg sdh samar bagai kabut, yg menguap bagaikan kentut. Adalah sapa.” (21:52:29). Lalu aku membalasnya, “Yg sdh merah jangan dibikin putih.”
“Apa boleh buat,” katanya, kemudian (21:57:14). Aku hanya membalas, “Ah....”.
Setelah itu kata-kata sarkastisnya nongol lagi: “Mohon doa agar monyet gila cepet modar.” (22:02:51). Kali ini aku berusaha santun namun ‘nyodok’. “Doamu sudah didengar Tuhan. Skrg belajarlah bicara dg lidah, tdk dg jari lentikmu,” ujarku.
Lalu aku balas SMS itu,”Maaf, ini siapa?” Dia tak membalas. Sejenak kemudian aku coba menelponnya dengan nomer telpon kantor. Tapi nihil. Dia tak memedulikannya. Begitu juga ketika aku mengontaknya dengan nomer HP-ku sendiri.
Namun dia kemudian berkirim SMS lagi. “Yg sdh dilupakan, yg sdh dibuang, yg sdh dicampakkan, yg sdh samar bagai kabut, yg menguap bagaikan kentut. Adalah sapa.” (21:52:29). Lalu aku membalasnya, “Yg sdh merah jangan dibikin putih.”
“Apa boleh buat,” katanya, kemudian (21:57:14). Aku hanya membalas, “Ah....”.
Setelah itu kata-kata sarkastisnya nongol lagi: “Mohon doa agar monyet gila cepet modar.” (22:02:51). Kali ini aku berusaha santun namun ‘nyodok’. “Doamu sudah didengar Tuhan. Skrg belajarlah bicara dg lidah, tdk dg jari lentikmu,” ujarku.
Subscribe to:
Posts (Atom)