“Ternyata tuhan ada di ketiakku,” ujarku, melalui YM, kepada lelaki di seberang sana yang mengaku sebagai Pencari Tuhan. Sontan dia kaget. Namun belum sampai kekagetan itu sirna, aku sudah memaksa otaknya linu. “Apa di ketiakmu juga ada tuhan?”
Kekagetan itu mendadak diubahnya menjadi kejengkelan. “Maksud lu apa neh?”
“Aku sudah menemukan tuhan. Kenapa kamu masih mencarinya?” Aku berusaha menggiringnya ke ranah diskusi yang lebih serius. Tapi lelaki itu malah bengong. Barangkali otaknya yang linu belum berhasil dia pulihkan.
“Emangnya tuhan itu residivis?” Sekali lagi aku memancing nalar intelektualnya bekerja. Sayang, kembali pertanyaanku tak diresponnya. Begitu pula ketika aku menonjok otaknya dengan pertanyaan, “Ngapain kamu mencarinya? Mau kamu apakan Tuhan?”
Aku yakin dia sedang berpikir keras menjawab pertanyaanku tadi. Dan aku berharap dia sanggup memaparkan jawaban yang ringkas namun berbobot.
“Gw yang nyari, kenapa lu yang koment?” serunya, setelah hampir dua menit dia terpaku. Rupanya dia seseorang yang defensif.
“Baiklah, apa kamu mau membunuh tuhan, kayak Nietzsche?” Lagi-lagi aku berupaya menggodanya untuk mau bertukar isi kepala.
Namun upayaku sia-sia. Dia tak sanggup menggerakkan jemarinya untuk menata kalimat. Dia memilih kabur dengan sign out dari dunia maya. Dunia yang sehari-hari diakrabinya, konon, sebagai Pencari Tuhan.
Thursday, October 15, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment