Thursday, December 14, 2006

Untuk Seorang Dewi


Hari-hari ini ketika mataku sukar diajak berburu pemandangan, hanya libidoku saja yang berjoget-joget seirama dengan kenangan-kenangan penuh gairah kala kita saling mendekap erat di malam itu. Di satu sisi hati kecilku merasa keruh dan terluka bila pikiranku sering bersilaturahmi dengan ingatan-ingatan seperti itu. Namun di sisi lain teramat sayang rasanya aku menikmatimu hanya ketika menyentuh jasadmu. Melamunkanmu yang sedang kewalahan menahan nikmat bagiku adalah jenis kenikmatan lain yang tak kalah memabukkan.

Tetapi karena aku suka menikmati kesementaraan, kusudahi saja persinggahanku di belantara lamunan itu. Kuirit masa tersadarku sebelum hengkang ke alam mimpi dengan membaca-baca tulisan di e-mail terakhirmu yang sengaja kau bebankan untuk kusantap dan kuresapi itu. Kuberbisik-bisik halus kepada setiap deret kata yang terketik rapi itu dan kusebar pesan singkat pada ujung paragraf terakhirnya, “Dewiku, jangan kapok dulu menjadi orang nakal”.

Ya, kenakalanmu belum waktunya kau tamatkan. Atau barangkali memang tak perlu kau sudahi meskipun dengan alasan yang maha terpuji: aku ingin tobat. Apalagi bila pertobatan itu sekedar letusan kesadaran semu. Kenapa aku berkata demikian?

Dengarlah, catatlah, camkanlah: Nakal itu halal! Hanya orang nakal lah yang bisa menafsiri dan memutar sejarah. Orang nakal melihat dunia tidak dengan tatapan kosong, tetapi dengan keyakinan dan kerakusan tertentu. Orang nakal tidak mudah terusik idelismenya, terutama untuk mengekor atau bahkan mengiba-iba pada keperkasaan pihak lain. Orang nakal terlatih untuk menjerit ketika dibungkam dan meronta ketika dibelenggu. Bahkan orang nakal bisa menerbitkan mataharinya sendiri meskipun bumi menyembunyikannya di balik awan. Nakal adalah berontak!

Sampai saat ini aku masih tertatih-tatih dan kekurangan energi untuk membudidayakan nakal itu. Kenapa kau malah hendak menamatkannya? Tak sanggup rasanya aku memergokimu berlutut di bawah kesadaran semumu. Kau akan seperti sandal jepit yang iri pada topi hanya karena kebetulan ia dikepalakan. Apa bedanya hina dan terhormat, bila kenyataannya itu hanya sebutan saja. Apa untungnya mencela kenakalan bila dengan cara itu kau belum tentu bermahkota kesempurnaan. Jangan lupa, satu-satunya yang tak ada di dunia ini adalah kesempurnaan!

Jika kenakalan itu adalah pohon, teramat tergesa-gesa bila kau menebang pohon kenakalanmu sekarang. Percuma saja, karena kau belum memetik buahnya, apalagi menyiapkan pohon baru yang kau yakini lebih rindang dan manis buahnya. Hentikan Kawan! Meskipun kau menganggap pohon kenakalanmu itu hanya menghasilkan buah bervirus yang memampuskan, toh paling tidak aku masih butuh bersandar dan berlindung dari terkaman panas dan hujan di teduhnya pohon kenakalanmu itu.

Pada siapa kelak aku berani mengadu dan bertanya tentang kesukaranku membudidayakan kenakalan bila kau sendiri sudah muak dengan kenakalan. Haruskah aku membuang jiwa nakalku, mengusir semangat berontakku, lalu membongkar seluruh jati diriku?

Yang aku lihat, kau sedang serakah untuk meraih kesempurnaan palsu dengan men-tong-sampah-kan kenakalanmu. Aku tidak sedang menghujatmu apalagi memurkaimu yang konon katanya ingin bertobat. Aku cuma ingin menunjukkan saat ini kau sedang tertindas dan terlindas oleh ketidakpastian yang mengitarimu. Sepengetahuanku, tak ada yang perlu berubah darimu. Sekali lagi, tidak ada! Segala ketidakpastian, seluruh konflik batin, dan semua kebimbangan yang menyelimutimu tak lain adalah ujian bagi kenakalanmu. Berjenis-jenis ke-was-was-an yang mengincarmu ibarat gelombang samudra yang tak kenal lelah. Sementara seperti yang aku katakan dulu, kau adalah batu karang. Tak mungkin batu karang insaf dan berniat ingin menjadi batu bata atau batu akik. Ah, terlalu remeh keinsafan seperti itu.

Lihatlah, langit terpampang dengan wajah murung karena angin mengabarkan kau hendak mengubur kenakalan. Langit berharap kau akan menyingkirkan awan dan menata bintang-gemintang lebih indah dari yang terlihat sekarang dengan tangan nakalmu.

Lihat juga, puncak gunung itu mengajakmu bercengkrama dengan lahar. Bunga-bunga edelwis menunggu kecupanmu. Bebatuan telanjang itu masih menagih janjimu dulu untuk membelainya kapanpun bila kau ingin. Tidakkah kau dengar juga bagaimana gemuruhnya bintang-bintang jatuh yang biasanya kau tudingi dengan telunjuk dan kau senyumi dengan harapan mendapat cipratan berkah dari cahayanya.

Seorang Dewi yang aku kenal adalah perempuan yang nakal. Sekali lagi, perempuan nakal! Jangan melotot dulu, ingatlah: nakal adalah berontak. Kenakalanmu tertancap benar dalam lubuk hatiku. Bukan karena kau selalu menebalkan make-up. Bukan karena kau suka membiarkan pancaran auratmu mengalahkan pancaran auramu. Bukan pula karena kau mudah hangus oleh api birahi. Bukan, bukan. Kau nakal bukan karena itu. Kau kusebut perempuan nakal karena kebrilianmu menjungkalkan keegoisanku. Kau mampu memerahkan putihku, dan memutihkan merahku.

Apa jadinya bila kau melarang mulutmu sendiri bicara. Apa jadinya bila kau paksa telingamu pura-pura tuli. Dan apa jadinya bila matamu kau butakan dengan mencukilnya diam-diam. Kau hanya akan menjadi robot. Tepatnya robot terunik sedunia karena memakai jilbab!

Jangan sampai itu terjadi. Ayolah, kibarkan kembali bendera kenakalanmu. Yakinlah, aku akan menjadi orang pertama yang merayakannya dengan menggelar upacara bendera dan mengheningkan cipta --bukan sejenak tetapi selamanya-- untuk kenakalanmu.

Satu lagi, kekasihku. Kenakalanmu adalah keperkasaanmu. Dan, keperkasaanmu adalah kebanggaanku. Aku tak rela keperkasaanmu tinggal menyisakan cerita. Aku akan teramat kecewa bila hanya karena tertusuk duri kecil kenakalanmu tiba-tiba lumpuh. Itu adalah bencana terbesar dalam rentang hubungan kita. Lestarikan kenakalanmu. Jangan bicara soal pertobatan, mari bicara betapa dahsyatnya arti kenakalanmu bagi eksistensiku.

No comments: