Pada dasarnya, segala sesuatu di jagad ini dibedakan menjadi dua: misteri dan non-misteri. Yang pertama tidak bisa didefinisikan, tetapi hanya bisa dijabarkan dengan metafora. Yang kedua bisa didefinisikan.
Tuhan adalah misteri. Ia ada, tapi tidak bisa digambarkan dengan kata-kata maupun grafis. Kalaupun seseorang berupaya menjelaskannya dengan kata-kata, hasilnya adalah ketidaksempurnaan. Artinya, kata-kata itu tidak akan sanggup menggambarkan Tuhan yang sesungguhnya. Kata-kata hanya akan menghasilkan lebih banyak kata-kata.
Tuhan, dalam hal tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tak ubahnya sebuah rasa. Contoh: rasa pedas. Bisakah seseorang menggambarkan bagaimana rasa pedas itu? Tidak bisa. Paling-paling, orang akan bilang: pedas adalah rasa dari cabe. Penggambaran seperti itu tidak cukup, meskipun orang bisa memahaminya. Yang diperlukan adalah penggambaran yang lebih lugas, jelas, dan rinci.
Nah, Tuhan lebih susah lagi digambarkan, karena ia tidak bisa diobservasi, dan tidak bisa pula dijadikan objek eksperimen. Cara terbaik menggambarkan Tuhan, karena itu, bukan dengan definisi, melainkan dengan metafora.
Definisi, secara sederhana, berarti penjabaran dan pembatasan. Jika sesuatu didefinisikan, berarti ia harus dijabarkan, sekaligus dipatok batas-batasnya untuk membedakan sesuatu itu dengan yang lainnya. Contoh, definisi baju dan celana. Keduanya sama-sama pakaian, tetapi dengan fungsi yang berbeda. Untuk membedakan hal satu dengan yang lainnya, biasanya yang dijadikan acuan adalah bentuk, sifat, fungsi, dll.
Bagaimana dengan metafora. Ia adalah perumpaan. Kalau kita membuka-buka teori perumpaan, dari sudut pandang bahasa, ia masih dibedakan menjadi beberapa. Di antaranya yang paling sering kita pakai adalah metafora dan personifikasi. Namun dalam konteks ini, metafora saya identikkan dengan perumpamaan.
Kitab suci apapun tidak pernah memberikan definisi yang utuh tentang Tuhan. Yang ada ialah penggalan-penggalan ayat yang berisi metafora. Mengapa begitu? Tuhan menggambarkan dirinya sesuai ‘alat-alat pengetahuan’ manusia. Alat-alat itu ada tiga: nalar, indera, dan kalbu. Tuhan juga menghadirkan dirinya dengan menyebut-sebut sesutau yang sudah ada di jagad raya, agar manusia bisa gampang mencernanya. Misalnya Tuhan menyebut “tangan Tuhan”, “rumah Tuhan”, dll. Tangan dan rumah adalah term-term yang konkrit, yang bisa dipahami kebanyakan manusia.
Meski begitu, layaknya puzzle, jika dibiarkan berantakan, metafora-metafora itu tidak akan memiliki bentuk yang utuh. Dan, faktanya, hanya orang tertentu yang sanggup menyusun serpihan-serpihan pazzle itu. Karenanya, pemahaman seseorang tentang Tuhan menjadi sesuatu yang sangat pribadi. Hal itu tergantung kepada pengalaman subjektif, sudut pandang keilmuan, kepentingan kelompok, dll.
Lalu, bagaimana agar diskusi tentang Tuhan bisa memperoleh hasil yang brilian?
Pertama, petakan teori-teori tentang Tuhan yang pernah dibikin manusia. Atau setidaknya: tumpahkan konsep Tuhan yang ada di kepala Anda.
Kedua, pahami teori-teori itu dengan cermat. Jangan lupa telusuri cara berpikir atau rujukan orang yang membikin teori itu.
Ketiga, coba lakukan analisis satu per satu. Di mana letak keunggulan dan kelemahan suatu teori.
Keempat, bikinlah teori baru versi Anda.
Kelima, minta orang lain mengomentari teori baru Anda. Jika Anda bisa mempertahankan teori itu dengan argumen yang secara logika tak terbantahkan, berarti Anda cukup cerdas.
Keenam, beri waktu kepada diri Anda untuk merenung beberapa pekan. Coba ajukan pertanyaan apapun mengenai teori yang pernah Anda ‘temukan’ itu.
Ketujuh, jika sudah mantap dengan teori itu, Anda bisa menulis serta mempublikasikannya. Kelak, di suatu waktu, percayalah, akan ada orang yang punya teori yang akan merevisi teori Anda.
Mengapa bisa begitu? Tuhan itu pasti sempurna, namun teori atau pemahaman atau kata-kata kita tentang dia tidak akan sempurna.
Loh, kata sempurna itu kan kata yang ambigu, Bos?! Betul sekali. Mengapa? Karena kita memakai ukuran kita. Secara gampang, sempurna bagi Tuhan ialah: ia bisa menjadi apapun dan bisa melakukan apapun. Namun, ini menjadi catatan puenting, Tuhan belum tentu melakukan apa yang bisa dia lakukan. Contoh: dia bisa tidur, bahkan ngorok sambil ngompol. Tapi, apa Tuhan melakukan itu?
Tuesday, November 10, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment