Menara Poeteri dan Madina bukanlah saudara kembar. Namun kedua majalah beda-generasi ini punya kemiripan: sama-sama mengusung nafas Islam dan sama-sama tak bisa berumur panjang.
Menara Poeteri adalah majalah mingguan yang terbit di Medan, pada 1937, dipimpin oleh Rasuna Said—seorang wanita pejuang yang pernah dibui pemerintah kolonial Belanda . Meski ditujukan untuk kaum hawa, semboyan yang dicanangkan majalah ini sungguh jantan: “Ini Dadaku, Mana Dadamu”.
“Kupasannya jitu. Suara yang dibawakannya lantang, laras dan pantas dengan pembawaan Pemimpin Redaksi-nya,” tulis Soebagijo I.N., dalam buku Jagad Wartawan Indonesia, tentang majalah ini.
Sayangnya Menara Poeteri lekas gulung tikar. Mengenai sebab-musababnya, dikemukakan sendiri oleh Pemimpin Redaksinya:
“Dengan sedih dimaklumkan pada seluruh abonne Menara Poeteri oleh sebab: (a) hanya 10 % dari abonne yang suka membayar (b) 90 % dari seluruhnya abonne suka baca, tetapi tidak suka bayar; sekira majalah dikembalikan karena tidak mau membayar, tidaklah menjadi penyesalan (c) hal itu telah berjalan dua kuartal. Menjaga tenaga, uang dan pikiran yang hilang percuma, maka mulai nomor yang akan terbit tanggal 20 Juni ini Menara Poeteri tidak diterbitkan lagi, buat sementara waktu yang tidak ditentukan.”
Kemudian muncullah kalimat perpisahan yang menggetarkan itu:
“Para abonne dan agenten yang masih berhutang uang langganan dipersilahkan memilih satu di antara dua: perhitungan di dunia atau perhitungan di akherat.”
Pada 2009 ini, setelah 19 bulan menyapa pembacanya, Madina juga terpaksa angkat kaki dari dunia pers. Dalam permohonan pamitnya, Farid Gaban dkk menulis:
“Kami bersama di sini memutuskan untuk berhenti terbit karena satu alasan: secara ekonomis, kami tak mungkin bertahan. Sebagai sebuah produk bisnis, Madina harus memperoleh pemasukan yang lebih besar daripada pengeluaran. Dan itu yang tidak kunjung bisa dicapai.”
Bila Pemimpin Redaksi Menara Poeteri menyebut-sebut perhitungan di dunia dan akherat, Pemimpin Redaksi Madina membawa-bawa nama Tuhan dan malaikat, dengan menyatakan:
“Kami percaya para malaikat akan mencatat nama-nama para penyandang dana, para sponsor, para pengiklan, para pendukung, para pembeli, para pembaca, para penjaja, yang tanpa mereka majalah ini tak akan ada. Kami berdoa, apa yang mereka dan Anda lakukan, punya makna di mata Sang Pencipta.”
Oh, mestikah kata-kata pamit selalu terasa pahit.....?!!
Monday, December 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment