Akhir September 2006, seorang pemuda 23 tahun hijrah, menaiki sepur, ke Ibu Kota Jakarta. Dengan mata berkaca-kaca ia tinggalkan kekasihnya, yang demikian menyayanginya, buat mengadu nasib. Apa sesungguhnya yang dicarinya?
Sejarah kemudian berkisah bahwa Hermansyah meninggalkan Tuban, juga Surabaya, untuk mewujudkan mimpinya: meniti karir dan mengumpulkan rupiah. Tapi apa yang berlalu tak sesederhana yang ia bayangkan.
Pada mulanya ia memasuki apartemen Puri Imperium, menginjakkan kakinya di kantor hukumonline, dan meneken sebuah kontrak. Isinya: sebuah ikatan kerja, dengan posisi reporter dan gaji satu koma sekian juta. Selama tiga bulan pertama ia menjadi pekerja waktu tertentu. Bila dinyatakan lulus masa percobaan, ia menjadi pekerja waktu tidak tertentu alias karyawan tetap. Isi kontrak itu tak lama kemudian tersiar hingga ke Tuban.
Waktu itu, Tuban masih merupakan kabupaten yang terbelakang. Kekuasaan masih dipegang Golkar dan bupati Haeny Relawaty bak berkuasa tanpa batas. Singgasananya pernah dibakar rakyat usai Pilkada. Tapi ia, dibentengi sang suami yang tak lain adalah pengusaha terkaya di Bumi Ronggolawe, bisa mematahkan ‘pemberontakan’ itu. Pemerintahan berlangsung koruptif. Masyarakat kelas bawah terus menjerit, tapi hanya bergema di bilik-bilik pengap.
Hermansyah tentu ingin turut memperbaiki kondisi kampung halamannya. Ia seorang sarjana. Dan lebih dari lulusan perguruan tinggi lainnya, ia piawai menulis. Ia bisa menjadi jurnalis yang menghasilkan berita-berita kritis.
Tapi toh ia pergi ke Batavia: kota yang garis nasibnya sudah sedemikian jelas. Sungguh, kota ini tidak membutuhkan seorang perantau macam ia. Lantas?
Buku harian Hermansyah, yang berisi tulisan yang begitu memikat, menceritakan banyak hal: di balik raganya yang kurus, ia memendam ambisi besar. Pemuda berkulit gelap, yang hobi bermain catur ini, lahir dari keluarga sudra. Ia ingin kaya dengan berkarya. Ia ingin dikenang keluarga sebagai anak yang berbakti.
Namun menaklukkan Jakarta bukan pekerjaan gampang. Hermansyah, yang lahir di Sumurcinde yang jauh dari ibu kota, menjadi seorang yang kikuk. Bagi orang macam dirinya, Jakarta adalah kota yang bisa membuat celaka. Di sini para profesional muda bersolek dan berparfum, luwes dan kadang sadis. Hermansyah tidak. Di suatu hari di kantor, si canggung ini bahkan pernah jadi bahan tertawaan: ia salah menyebut Inayah sebagai Sheila. Semua gara-gara ia jarang bergaul dengan karyawan perempuan.
Hermansyah mencoba keluar dari situasi seperti itu. Tentu, ia tak betul-betul mengakui kekurangannya sendiri. Tapi pandangan meremehkan dari orang-orang di sekitarnya, membuat ia selalu habis-habisan membuktikan kemampuannya.
Demikianlah, ia menjalin hubungan erat, tanpa sepengetahuan Kantor, dengan sejumlah kalangan. Membangun relasi, demikian ia menyebutnya, ia lakukan bukan cuma untuk menambah daftar narasumber. Ia juga ingin memperoleh apa yang diharapkan pekerja kelas bawah lainnya: peningkatan karir.
Dan ternyata ia berhasil, setelah berpuluh-puluh hari dilanda frustrasi. Dengan kemahiran menulis, ditopang kegigihannya untuk berjuang melawan pelecehan, ia mendapat kemenangan. Di sebuah tempat kerja yang baru, posisinya lumayan menanjak. Walau gajinya tak terlalu menjulang, namun ia merasa nyaman. Yah, kenyamanan itulah yang sangat ia butuhkan ketika sang jabang bayi yang dikandung Dewi, istrinya, akan nongol ke dunia dalam hitungan hari.
Jakarta, Jumat (awal Juli 2008)
Saturday, August 02, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
ah mas herman ini.. mentang2 sering gua tepok2 pantatnya & sering juga gua pelorotin celananya, terus merasa dilecehkan? hehe
ayo cuk, kita tanding lagi
Post a Comment