Siapakah Herman Hasyim? Sewaktu kecil dulu, kita mengenalnya sebagai kolumnis yang kritis nan kocak. Atau, setidaknya seorang cerdik yang pandai mengutak-atik kata. Kita juga mengenalnya sebagai tokoh yang tak punya pendirian: tak punya organisasi dan enggan memfanatikkan keyakinannya.
Empat puluh tahun setelah kepergiannya, saya menemukan sepetak kamar di sebuah kontrakan di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Terletak di lantai dua, luasnya cuma 2 x 3 meter. Tak ada AC. Catnya sudah terkelupas, seperti kebanyakan kos-kosan di daerah ini.
Sore itu saya menelisiki kamar yang sempit dan pengap itu untuk mencari sisa sejarah yang tersembunyi. Saya tidak mendapatkannya secara utuh. Di kamar itu hanya ada sebuah jendela yang mengarah ke Jalan Taman Margasatwa.
Kontrakan ini dioperasikan pada tahun 2007. Di antara penyewa kamar, berdasarkan data pemilik kontrakan, tidak ada nama Herman Hasyim. Yang ada ialah Hermansyah. Lahir di Tuban, 10 Agustus 1982, sehari-hari ia bekerja selaku reporter di sebuah media online. Ia suka pulang dini hari.
Mengapa Hermansyah mengubah namanya menjadi Herman Hasyim dan bagaimana kolumnis dengan tubuh kerempeng ini mengisi hari-harinya sebagai wartawan? Saya tak tahu persis. Barangkali ia mendapatkan nama belakang “Hasyim” dari nama ayahnya: Nurhasyim. Dan, kemungkinan ia merakit kolom-kolomnya selepas kerja hingga subuh.
Dengan bantuan rokok dan kopi, ia sanggup menghasilkan karya. Tapi dengan itu pula tubuhnya menjadi ringkih dan akhirnya tak berdaya pada usia 40-an. Bagi mereka yang makan dan tidur secara teratur, Herman Hasyim adalah pemuda yang sembrono. Orang yang gemar menyepelekan kondisi kesehatannya. Namun kita mesti menempatkannya sebagai pribadi yang unik. Ia tidak pernah jatuh cinta kepada kehidupan yang tertib: kehidupan yang simetris.
Seorang penulis pernah menyinggung bagaimana posisi Herman Hasyim dalam sejarah tulisan populer di Indonesia: Herman Hasyim memang tak mengusung corak yang benar-benar baru, tapi ia membangkitkan kembali ruh Art Buchwald yang sudah tertimbun tanah itu.
Herman Hasyim, masih menurut penulis itu, telah menyegarkan kembali artikel-artikel koran yang terlanjur identik dengan kekakuan dan kegersangan. Ia sering memperkenalkan kosa kata baru, terampil mengembangkan humor, dan memboboti tulisannya dengan pandangan yang galak namun selalu membikin pembaca terbahak-bahak.
Dalam banyak hal, agaknya ia seperti Farid Gaban—mantan wartawan Tempo dan Republika yang membukukan kumpulan kolomnya dalam “Belajar Tidak Bicara”. Dalam beberapa hal ia juga seperti Harry Roesli, yang kolom-kolomnya di rubrik “Asal-Usul” Kompas begitu menggelitik. Tapi Herman Hasyim pernah mengatakan bahwa ia sangat mengagumi kolumnis era 1970-an Mahbub Djunaidi. Ia juga gandrung kepada Samuel Mulia, penulis rubrik “Parodi” di Kompas, yang gemar menelanjangi kebusukannya sendiri.
“Aku ini cuma tulang belulang,” kelakar Herman Hasyim, “tapi aku adalah tulang punggung keluarga.”
Saturday, August 02, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment